Thursday, September 08, 2005

ABU HURAIRAH R.A. (ARTIKEL 1)

Akrab Dengan Kelaparan
Tokoh kita ini biasa berpuasa sunah tiga hari setiap awal bulan Qamariah (bulan Arab dalam penanggalan Hijri), mengisi malam harinya dengan membaca Al-Quran dan salat tahajud. Akrab dengan kemiskinan, dia sering mengikatkan batu ke perutnya, guna menahan lapar. Dalam sejarah ia dikenal paling banyak meriwayatkan hadis. Dialah Bapak Kucing Kecil (Abu Hurairah), begitu orang mengenalnya.

"Aku sudah dengar pergunjingan kalian. Kata kalian, Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadis Nabi. Padahal, para sahabat muhajirin dan anshar sendiri tak ada yang meriwayatkan hadis Nabi sebanyak yang dituturkan Abu Hurairah. Ketahuilah, saudara-saudaraku dari kaum muhajirin disibukkan dengan perniagaan mereka di pasar. Sementara saudara-saudaraku dari anshar disibukkan dengan kegiatan pertanian mereka. Dan aku seorang papa, termasuk golongan kaum miskin shuffah (yang tinggal di pondokan masjid). Aku tinggal dekat Nabi untuk mengisi perutku. Aku hadir (di samping Nabi) ketika mereka tidak ada, dan aku selalu mengingat-ingat ketika mereka melupakan."

Abu Hurairah adalah sahabat yang sangat dekat dengan Nabi. Ia dikenal sebagai salah seorang ahli shuffah, yaitu orang-orang papa yang tinggal di pondokan masjid (pondokan ini juga diperuntukkan buat para musafir yang kemalaman). Begitu dekatnya dengan Nabi, sehingga beliau selalu memanggil Abu Hurairah untuk mengumpulkan ahli shuffah, jika ada makanan yang hendak dibagikan.

Karena kedekatannya itu, Nabi pernah mempercayainya menjaga gudang penyimpan hasil zakat. Suatu malam seseorang mengendap-endap hendak mencuri, tertangkap basah oleh Abu Hurairah. Orang itu sudah hendak dibawa ke Rasulullah. "Ampun tuan, kasihani saya," pencuri itu memelas. "Saya mencuri ini untuk menghidupi keluarga saya yang kelaparan."

Abu Hurairah tersentuh hatinya, maka dilepasnya pencuri itu. "Baik, tapi jangan kamu ulangi perbuatanmu ini." Esoknya hal ini dilaporkan kepada Nabi. Nabi tersenyum. "Lihat saja, nanti malam pasti ia kembali."

Benar pula, malam harinya pencuri itu datang lagi. "Nah, sekarang kamu tidak akan kulepas lagi." Sekali lagi, orang itu memelas, hingga Abu Hurairah tersentuh hatinya. Tapi, ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi, kembali beliau mengatakan hal yang sama. "Lihat saja, orang itu akan kembali nanti malam."

Ternyata pencuri sialan itu benar-benar kembali. "Apa pun yang kamu katakan, jangan harap kamu bisa bebas. Sudah dua kali kulepas, kamu tak kapok-kapok juga."

Eh, pencuri itu malah menggurui. "Abu Hurairah, sebelum kamu tidur, bacalah ayat kursi agar setan tidak menyatroni kamu."

Merasa mendapat pelajaran berharga, Abu Hurairah terharu. Ah, ternyata orang baik-baik, pikirnya.

"Apa yang dikatakan orang itu memang benar," sabda Nabi ketika dilapori pagi harinya. "Tapi orang itu bukan orang baik-baik. Dia adalah setan. Dia katakan itu supaya dia kamu bebaskan."

Mengikatkan Batu ke Perut.
Abu Hurairah adalah salah seorang tokoh kaum fakir miskin. Abu Hurairah sering lapar ketimbang kenyang. Ia sosok yang teguh berpegang pada sunah Nabi. Ia kerap menasihati orang agar jangan larut dengan kehidupan dunia dan hawa nafsu. Ia tak membedakan antara kaum kaya dan kaum miskin, petinggi negeri atau rakyat jelata dalam menyampaikan kebenaran. Ia pun selalu bersyukur kepada Allah dalam keadaan susah dan senang.

Orang yang nama lengkapnya Abdur Rahman (versi lain: Abdu Syams) ibn Shakhr Ad-Dausi ini adalah sosok humoris. Banyak anekdot yang berasal darinya. Ia pun suka menghibur anak-anak kecil. Ia pecinta kucing kecil. Ke mana-mana dibawanya binatang ini, sehingga julukan Abu Hurairah (bapak kucing kecil) pun melekat padanya.

Dibanding Nabi, umurnya lebih muda sekitar 30 tahun. Dia lahir di Daus, sebuah desa miskin di padang pasir Yaman. Hidup di tengah kabilah Azad, ia sudah yatim sejak kecil, yang membantu ibunya menjadi penggembala kambing.

Dia masuk Islam tak lama setelah pindah ke Madinah pada tahun ketujuh hijriah, bersamaan dengan rencana keberangkatan Nabi ke Perang Khaibar. Tapi ibundanya belum mau masuk Islam. Malah sang ibu pernah menghina Nabi. Ini membuatnya sedih. Untuk itu, ia memohon Nabi berdoa agar ibunya masuk Islam. Kemudian Abu Hurairah kembali menemui ibunya, mengajaknya masuk Islam. Ternyata sang ibu telah berubah, bersedia mengucapkan dua kalimat syahadat.

Buruh Kasar
Akan halnya kepindahannya ke Madinah adalah untuk mengadu nasib. Di sana ia bekerja serabutan, menjadi buruh kasar bagi siapa pun yang membutuhkan tenaganya. Acap kali dia harus mengikatkan batu ke perutnya, guna menahan lapar yang amat sangat.

Menurut shahibul hikayat, ia pernah kedapatan berbaring di dekat mimbar masjid. Gara-gara perbuatan aneh itu, orang mengiranya agak kurang waras. Mendengar kasak-kusuk di kalangan sahabat ini, Nabi segera menemui Abu Hurairah. Abu Hurairah bilang, ia tidak gila, hanya ia lapar. Nabi pun segera memberinya makanan.

Suatu kali, dengan masih mengikatkan batu ke perutnya, dia duduk di pinggir jalan, tempat orang biasanya berlalu lalang. Dilihatnya Abu Bakr melintas. Lalu dia minta dibacakan satu ayat Al-Quran. "Aku bertanya begitu supaya dia mengajakku ikut, memberiku pekerjaan," tutur Abu Hurairah. Tapi Abu Bakr cuma membacakan ayat, lantas berlalu.

Dilihatnya Umar ibn Khattab. "Tolong ajari aku ayat Al-Quran," kata Abu Hurairah. Kembali ia harus menelan ludah kekecewaan karena Umar berbuat hal yang sama. #Tak lama kemudian Nabi lewat. Nabi tersenyum. "Beliau tahu apa isi hati saya. Beliau bisa membaca raut muka saya secara tepat," tutur Abu Hurairah.

"Ya Aba Hurairah!" panggil Nabi.
"Labbaik, ya Rasulullah!"
"Ikutlah aku!"

Beliau mengajak Abu Hurairah ke rumahnya. Di dalam rumah didapati sebaskom susu. "Dari mana susu ini?" tanya Rasulullah. Beliau diberi tahu bahwa seseorang telah memberikan susu itu.
"Ya Aba Hurairah!" *#"Labbaik, Ya Rasulullah!"
"Tolong panggilkan ahli shuffah," kata Nabi. Susu tadi lalu dibagikan kepada ahli shuffah, termasuk Abu Hurairah. Sejak itulah, Abu Hurairah mengabdi kepada Rasulullah, bergabung dengan ahli shuffah di pondokan masjid.

Sepulang dari Perang Khaibar, Nabi melakukan perluasan terhadap Masjid Nabawi, yaitu ke arah barat dengan menambah tiga pilar lagi. Abu Hurairah terlibat pula dalam renovasi ini. Ketika dilihatnya Nabi turut mengangkat batu, ia meminta agar beliau menyerahkan batu itu kepadanya. Nabi menolak seraya bersabda, "Tiada kehidupan sebenarnya, melainkan kehidupan akhirat."

Abu Hurairah sangat mencintai Nabi. Sampai-sampai dia memilih dipukul Nabi karena melakukan kekeliruan ketimbang mendapatkan makanan yang enak. "Karena Nabi menjanjikan akan memberi syafaat kepada orang yang pernah merasa disakitinya secara sengaja atau tidak," katanya.

Begitu cintanya kepada Rasulullah sehingga siapa pun yang dicintai Nabi, ia ikut mencintainya. Misalnya, ia suka mencium Hasan dan Husain, karena melihat Rasulullah mencium kedua cucunya itu.

Ada cerita menarik menyangkut kehidupan Abu Hurairah dan masyarakat Islam zaman itu. Meski Abu Hurairah seorang papa, boleh dibilang tuna wisma, salah seorang majikannya yang lumayan kaya menikahkan putrinya, Bisrah binti Gazwan, dengan lelaki itu. Ini menunjukkan betapa Islam telah mengubah persepsi orang dari membedakan kelas kepada persamaan. Abu Hurairah dipandang mulia karena kealiman dan kesalihannya. Perilaku islami telah memuliakannya, lebih dari kemuliaan pada masa jahiliah yang memandang kebangsawanan dan kekayaan sebagai ukuran kemuliaan.

Sejak menikah, Abu Hurairah membagi malamnya atas tiga bagian: untuk membaca Al-Quran, untuk tidur dan keluarga, dan untuk mengulang-ulang hadis. Ia dan keluarganya meskipun kemudian menjadi orang berada tetap hidup sederhana. Ia suka bersedekah, menjamu tamu, bahkan menyedekahkan rumahnya di Madinah untuk pembantu-pembantunya.

Tugas penting pernah diembannya dari Rasulullah. Yaitu ketika ia bersama Al-Ala ibn Abdillah Al-Hadrami diutus berdakwah ke Bahrain.

Belakangan, ia juga bersama Quddamah diutus menarik jizyah (pajak) ke Bahrain, sambil membawa surat ke Amir Al-Munzir ibn Sawa At-Tamimi.

Menolak Jabatan
Mungkin karena itu, ketika Umar menjadi amirul mukminin, Abu Hurairah diangkat menjadi gubernur Bahrain. Tapi pada 23 Hijri Umar memecatnya gara-gara sang gubernur kedapatan menyimpan banyak uang (menurut satu versi, sampai 10.000 dinar). Dalam proses pengusutan, ia mengemukakan upaya pembuktian terbalik, bahwa harta itu diperolehnya dari beternak kuda dan pemberian orang. Khalifah menerima penjelasan itu dan memaafkannya. Lalu ia diminta menduduki jabatan gubernur lagi, tapi ia menolak.

Penolakan itu diiringi lima alasan. "Aku takut berkata tanpa pengetahuan; aku takut memutuskan perkara bertentangan dengan hukum (agama); aku ogah dicambuk; aku tak mau harta benda hasil jerih payahku disita; dan aku takut nama baikku tercemar," kilahnya. Ia memilih tinggal di Madinah, menjadi warga biasa yang memperlihatkan kesetiaan kepada Umar, dan para pemimpin sesudahnya.

Tatkala kediaman Amirul Mukminin Ustman ibn Affan dikepung pemberontak, dalam peristiwa yang dikenal sebagai al-fitnatul kubra (bencana besar), Abu Hurairah bersama 700 orang Muhajirin dan Anshar tampil mengawal rumah tersebut. Meski dalam posisi siap tempur, Khalifah melarang pengikut setianya itu memerangi kaum pemberontak.

Pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah ditawari menjadi gubernur di Madinah. Ia menolak. Ketika terjadi pertemuan antara Khalifah Ali dan lawannya, Muawiyah ibn Abi Sufyan, ia bersikap netral dan menghindari fitnah. Sampai kemudian Muawiyah berkuasa, Abu Hurairah bersedia menjadi gubernur di Madinah. Tapi versi lain mengatakan, Marwan ibn Hakamlah yang menunjuk Abu Hurairah sebagai pembantunya di kantor gebernuran Madinah. Di Kota Penuh Cahaya (Al-Madinatul Munawwarah) ini pula ia mengembuskan nafas terakhir pada 57 atau 58 H. (676-678 M.) dalam usia 78 tahun. Meninggalkan warisan yang sangat berharga, yakni hadis-hadis Nabi, bak butiran-butiran ratna mutu manikam, yang jumlahnya 5.374 hadis.

Abu Darda’

Uwaimir bin Malik Al Khazraji yang digelari Abu Darda' bangun dari tidurnya pagi pagi sekali. Setelah itu dia pergi menuju berhala sembahannya di sebuah kamar yang paling istimewa dalam rumahnya. Dia membungkuk memberi hormat kepada patung tersebut, kemudian diminyakinya dengan wangi-wangian termahal yang terdapat dalam tokonya yang besar. Sesudah itu patung tersebut diberi pakaian baru yang terbuat dari sutera megah, yang diperolehnya kemarin dari seorang pedagang yang datang dari Yaman dan sengaja mengunjunginya.

Setelah matahari agak tinggi, barulah Abu darda' masuk ke rumah dan bersiap hendak pergi ke tokonya, tiba-tiba jalan di Yastsrib menjadi ramai, penuh sesak dengan para pengikut Nabi Muhammad yang baru kembali dari peperangan Badar. Di muka sekali terlihat sekumpulan tawanan terdiri dari orang-orang Quraisy. Abu Darda' mendekati orang ramai dan bertemu dengan seorang pemuda suku Khazraj. Abu darda' menanyakan kepadanya dimana 'Abdullah bin Rawahah.

Pemuda Khazraj tersebut menjawab dengan hati- hati pertanyaan Abu Darda', karena dia tahu bagaimana hubungan Abu Darda' dengan 'Abdullah bin Rawahah. Mereka tadinya adalah dua orang teman akrab di masa jahily. Setelah Islam datang, “Abdullah bin Rawahah segera masuk Islam, sedangkan Abu Darda' tetap dalam kemusyrikan.

Tetapi hal itu tidak menyebabkan hubungan persahabatan kedua orang tersebut menjadi putus. Karena 'Abdullah berjanji akan mengunjungi Abu Darda' sewaktu-waktu, untuk mengajak dan menariknya ke dalam Islam. Dia kasihan kepada Abu Darda', karena umurnya habis tersia-sia setiap hari dalam kemusyrikan.

Abu Darda' tiba di toko pada waktunya. Ia duduk bersila diatas kursi, sibuk jual beli dan mengomandoi para pelayan. Sementara itu ' Abdullah bin Rawahah datang ke rumah Abu Darda'. Sampai di sana ia melihat Ummu Darda' di halaman rumahnya. “ Assalamu'alaiki. Ya amatallah, “ ( Semoga Anda bahagia, hai hamba Allah ). “ kata 'Abdullah memberi salam. “ Wa 'alaikassalam, ya akha Abi Darda' “ ( Dan semoga Anda bahagia pula, hai sahabat Abu Darda'), jawab Ummu Darda.

“Kemana Abu Darda'', tanya 'Abdullah.

“Dia ke toko, tetapi tidak lama lagi dia akan pulang,” jawab Ummu Darda'

“Boleh saya masuk?” tanya 'Abdullah.

'Dengan segala senang hati! Silakan! Jawab Ummu Darda'. Ummu Darda' melapangkan jalan bagi 'Abdullah, kemudian dia masuk ke dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak.

'Abdullah bin Rawahah masuk ke kamar tempat Abu Darda' meletakkan patung sembahannya. Dikeluarkannya kapak yang sengaja dibawanya. Dihampirinya patung itu lalu dikapaknya hingga berkeping-keping. Katanya, “ ketahuilah, setiap yang disembah selain Allah adalah batil!”

Setelah selesai menghancurkan patung tersebut, dia pergi meninggalkan rumah. Ummu Darda' masuk ke kamar tempat patung berada. Alangkah terperanjatnya dia, ketika dilihatnya patung telah hancur berkeping keping dan berserakan di lantai. Ummu Darda' meratap menampar nampar kedua pipinya seraya berkata, “Engkau celakakan saya, hai Ibnu Rawahah.”

Tidak berapa lama kemudian Abu Darda' pulang dari toko. Didapatinya istrinya duduk dekat pintu kamar patung sambil menangis. Rasa cemas dan takut kelihatan jelas di wajahnya.

“Mengapa engkau menangis? ' tanya Abu Darda'

“Teman Anda, ' Abdullah bin Rawahah tadi datang kemari ketika Anda sedang di toko. Dia telah menghancurkan patung sembahan Anda. Cobalah Anda saksikan sendiri,”jawab Ummu Darda'

Abu Darda' menengok ke kamar patung, dilihatnya patung itu sudah hancur berkeping-keping. Maka timbullah marahnya. Mulanya dia bermaksud hendak mencari 'Abdullah. Tetapi setelah kemarahannya berangsur padam, dia memikirkan kembali apa yang sudah terjadi. Kemudian katanya,”seandainya patung itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.”

Maka ditinggalkannya patung yang menyesatkan itu, lalu dia pergi mencari 'Abdullah bin Rawahah. Bersama sama dengan 'Abdullah, dia pergi menghadap Rasulullah SAW dan menyatakan masuk agama Allah di hadapan beliau.

Sejak detik pertama Abu Darda' beriman dengan Allah dan Rasul-Nya, dia beriman dengan sebenar benar iman. Dia sangat menyesal agak terlambat masuk Islam. Sementara itu kawan-kawannya yang telah lebih dahulu masuk Islam, telah memperoleh pengertian yang dalam tentang agama Allah ini, hafal Al Qur'an, senantiasa beribadat, dan taqwa yang selalu mereka tanamkan dalam diri mereka di sisi Allah. Karena itu dia bertekad hendak mengejar ketinggalannya dengan sungguh-sungguh, sekali pun dia harus berpayah-payah siang dan malam, hingga tersusul orang-orang yang berangkat lebih dahulu. Dia berpaling kepada ibadat dan memutuskan hubungan dengan dunia, mencurahkan perhatian kepada ilmu seperti orang kehausan mempelajari Al Qur'an dengan tekun dan menghafalkan ayat-ayat, serta menggali pengertiannya sampai dalam. Tatkala dirasakannya perdagangannya mengganggu dan merintanginya untuk beribadat dan menghadiri majelis-majelis ilmu, maka ditinggalkannya perusahaannya tanpa ragu dan penyesalan.

Berkenan dengan sikapnya yang tegas itu orang pernah bertanya kepadanya. Maka dijawabnya, “Sebelum masa Rasulullah saya menjadi seorang pedagang. Maka setelah saya masuk Islam, saya ingin menggabungkan berdagang untuk beribadat. Demi Allah, yang jiwa Abu Darda' dalam kuasa-Nya, saya akan menggaji penjaga pintu masjid supaya saya tidak luput shalat berjamaah, kemudian saya berjual beli dan berlaba setiap hari 300 dinar.”

Kemudian dia menengok kepada si penanya dan berkata, “Saya tidak mengatakan bahwa Allah Ta'ala mengharamkan berniaga. Tetapi saya ingin menjadi pedagang, bila perdagangan dan jual beli tidak mengganggu saya untuk berdzikrullah ( berdzikir).”
#Abu Darda' tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya sekedar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya sudah cukup sesuap nasi sekedar untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian kasar untuk menutupi tubuh.

Pada suatu malam yang sangat dingin, sekelompok jamaah bermalam di rumahnya. Abu Darda', menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, mereka mempertanyakan selimut, Seorang diantaranya berkata, “Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda'.”

Kata yang lain tidak, 'Tidak perlu!”

Tetapi orang yang seorang itu menolak saran orang yang tidak menuju. Dia terus pergi ke kamar Abu Darda'. Sampai di muka pintu dilihatnya Abu Darda' berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan. Orang itu bertanya kepada Abu Darda', Saya lihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa selimut. Kemana saja kekayaan dan harta benda Anda?”

Jawab Abu Darda', “kami mempunyai rumah di kampung sana. Harta benda kami langsung kami kirimkan kesana setiap kami peroleh. Seandainya masih ada yang tinggal di sini (berupa selimut), tentu sudah kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki. Karena itu susah membawa barang yang berat-berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa.”

Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang itu, “Pahamkah Anda?”

Jawab orang itu, “Ya, saya mengerti. Semoga Anda di karuniai Allah segala kebaikan.”

Pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin Khatab, 'Umar mengangkat Abu darda' menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi Abu Darda' menolak pengangkatan tersebut. Khalifah Umar marah kepadanya. Lalu kata Abu Darda'. “Bilamana Anda menghendaki saya pergi ke Syam, saya mau pergi untuk mengajarkan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah kepada mereka, serta menegakkan shalat bersama sama dengan mereka.”

Khalifah Umar menyukai rencana Abu Darda' tersebut. Lalu Abu Darda' berangkat ke Damsyik. Sampai di sana didapatinya masyarakat telah mabuk kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat menyedihkannya. Maka dipanggilnya orang banyak ke masjid, lalu dia berpidato di hadapan mereka. Katanya :

“Wahai penduduk Damsyiq! Kalian adalah saudaraku seagama ; tetangga senegeri; dan pembela dalam melawan musuh bersama.

Wahai penduduk Damsyiq! Saya heran, apakah gerangan sebabnya kalian tidak menyenangi saya, dan tidak menerima nasehat saya? Padahal saya tidak mengharapkan balas jasa dari kalian. Nasehatku berguna untuk kalian, sedangkan belanjaku bukan dari kalian.

Saya tidak suka melihat ulama-ulama pergi meninggalkan kalian, sementara orang-orang bodoh tetap saja bodoh.

Saya hanya mengharapkan kalian supaya melaksanakan segala perintah Allah Ta'ala, dan menghentikan segala larangan-Nya.

Saya tidak suka melihat kalian mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya, tetapi tidak kalian pergunakan untuk kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung yang mewah, tetapi tidak kalian tempati atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak mungkin tercapai oleh kalian.

Bangsa-bangsa sebelum kamu pernah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan bercita cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya sebentar, harta yang mereka tumpuk habis kikis, cita- cita mereka hancur berantakan, dan bangunan-bangunan mewah yang mereka bangun rubuh menjadi kuburan.

Hai penduduk Damsyiq! Itulah bangsa 'Ad ( kaum Nabi Hud a.s) yang telah memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak.

Siapakah di antara kalian yang berani sekarang membeli daripadaku peninggalan kaum 'Ad itu dengan harga dua dirham?”

Mendengar pidato Abu Darda' tersebut orang banyak menangis, sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid.

Sejak hari itu Abu Darda' senantiasa mengunjungi majelis-majelis masyarakat Damsyiq dan pergi ke pasar - pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya dijawabnya, jika dia bertemu dengan seorang bodoh, diajarinya ;dan jika dia melihat orang terlalai, diingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan yang baik, sesuai dengan situasi dan kondisi, serta kemampuan yang ada padanya.

Pada suatu ketika dia melihat sekelompok orang mengeroyok seorang lelaki. Laki-laki itu babak belur dipukuli dan dicaci maki mereka. Abu Darda' datang menghampiri, lalu bertanya, “Apa yang terjadi? Mengapa begini?”

Jawab mereka, “Orang itu jatuh ke dalam dosa besar.”

Kata Abu Darda', “Karena itu janganlah kalian caci maki dia, dan jangan pula kalian pukuli. Tetapi berilah dia pengajaran dan sadarkan dia. Bersyukurlah kalian kepada Allah yang senantiasa memaafkan kalian dari segala dosa.”

Tanya mereka, “Apakah Anda tidak membencinya?”

Jawab Abu Darda', “Sesungguhnya saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatannya yang berdosa itu, maka dia adalah saudara saya.”

Orang itu menangis dan tobat dari kesalahannya.

Kali yang lain seorang pemuda mendatangi Abu Darda' dan berkata kepadanya,”Wahai sahabat Rasulullah! Ajarilah saya!”

Jawab Abu Darda',”Hai anakku! Ingatlah kepada Allah di waktu kamu bahagia. Maka Allah akan mengingatmu di waktu kamu sengsara.

Hai Anakku! Jadilah kamu pengajar, orang yang mau belajar dan orang yang mau mendengar. Dan jangan menjadi orang yang bodoh). Karena yang bodoh itu, pasti celaka.

Abu Darda' pernah pula melihat sekelompok pemuda duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka ngobrol sambil melihat orang-orang yang lalu lalang. Abu Darda' menghampiri mereka dan berkata kepadanya, “Hai anak-anakku! Tempat yang paling baik bagi orang muslim adalah rumahnya. Di sana dia dapat memelihara diri dan pandangannya. Jauhilah duduk duduk di pinggir jalan dan dipasar - pasar, karena hal itu menghabiskan waktu dengan percuma.”

Ketika Abu Darda' tinggal di Damsyiq, yang menjadi gubernur waktu itu ialah Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Mu'awiyah melamar anak gadis Abu Darda' (yaitu Darda') untuk puteranya Yazid. Abu Darda' menolak lamaran Mu'awiyah tersebut. Dia tidak mau mengawinkan anak gadisnya, Darda', dengan Yazid (putera Gubernur). Bahkan Darda' dikawinkannya dengan pemuda muslim, anak kebanyakan. Abu Darda' menyukai agama dan akhlak pemuda itu. Orang banyak heran dengan sikap Abu Darda' dan berbisik bisik sesama mereka, “Anak gadis Abu Darda' dilamar oleh Yazid bin Mu'awiyah, tetap lamarannya di tolak. Kemudian Abu Darda' mengawinkan putrinya dengan seorang pemuda muslim anak orang kebanyakan.”

Seorang penanya bertanya kepada Abu Darda', mengapa dia bertindak seperti itu. Jawab Abu Darda', “Saya bebas berbuat sesuatu untuk kemaslahatan Darda'.”

Tanya,”Mengapa?”

Jawab Abu darda', “Bagaimana pendapat Anda, apabila nanti Darda' telah berada di tengah-tengah inang pengasuh yang senantiasa siap sedia melayaninya, sedangkan dia berada dalam istana yang gemerlapan menyilaukan mata, akan kemana jadinya agama Darda' ketika itu?”

Pada suatu waktu ketika Abu Darda' berada di negeri Syam, Amirul Mukminin 'Umar bin Khattab datang memeriksa. Khalifah mengunjungi sahabat itu di rumahnya malam hari. Ketika Khalifah membuka pintu rumah Abu Darda', ternyata pintu itu tidak dikunci dan rumah gelap tanpa lampu. Ketika Abu Darda' mendengar suara Khalifah, Abu Darda berdiri mengucapkan selamat datang dan menyilahkan Khalifah Umar duduk. Keduanya segera terlibat dalam pembicaraan - pembicaraan penting, padahal kegelapan menyelubungi keduanya, sehingga masing - masing tidak melihat kawannya berbicara.

Khalifah 'Umar meraba -raba bantal alas duduk Abu Darda', ternyata sebuah pelana kuda. Dirabanya pula kasur tempat tidur Abu Darda', ternyata berisi pasir belaka. Dirabanya pula selimut, kiranya pakaian- pakaian tipis yang tidak mencukupi untuk musim dingin.

Kata khalifah 'Umar, “Semoga Alah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda. Maukah Anda saya bantu? Maukah Anda saya kirimi sesuatu untuk melapangkan kehidupan Anda?”

Jawab Abu Darda'. “Ingatlah Anda hai 'Umar-sebuah hadist yang disampaikan Rasulullah kepada kita?”

Tanya Umar, “Hadist apa gerangan?”

Jawab Abu Darda', Bukankah Rasulullah telah bersabda: 'Hendaklah puncak salah seorang kamu tentang dunia, seperti perbekalan seorang pengendara ( yaitu secukupnya dan seadanya).'

Jawab Khalifah Umar, “Ya, saya ingat!”

Kata Abu Darda', “Nah, apa yang telah kita perbuat sepeninggal beliau, hai Umar?”

Khalifah Umar menangis, Abu Darda'pun menangis pula. Akhirnya mereka berdua bertangis tangisan sampai subuh.

Abu Darda' menjadi guru selama tinggal di Damsyiq.Dia memberi pengajaran kepada penduduk, memperingatkan mereka, mengajarkan Kitab (Al Qur'an) dan Hikmah kepada mereka sampai dia meninggal.

Tatkala Abu Darda' hampir meninggal, para sahabatnya datang berkunjung. Mereka bertanya,”sakit apa yang Anda rasakan?”

Jawab Abu Darda',”Dosa-dosaku!”

Tanya,”Apa yang Anda inginkan?”

Jawab,”Ampunan Tuhanku.”

Kemudian dia berkata kepada orang-orang yang hadir disekitarnya, “Ulangkanlah kepadaku kalimah “ Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah.”

Abu Darda'senantiasa membaca kalimah tersebut berulang-ulang hingga nafasnya yang terakhir.

Setelah Abu Darda' pergi menemui Tuhannya, Abu Muhammad berkata pada Auf bin Malik “hai, Ibnu malik! Inilah karunia Allah kepada kita berkat Al Qur'an. Seandainya engkau mengawasi jalan ini, engkau akan melihat suatu pemandangan yang belum pernah engkau saksikan, dan mendengar sesuatu yang belum pernah engkau dengar, dan tidak pernah terlintas dalam pikiranmu.”

Tanya 'Auf bin Malik,”Untuk siapa semuanya, hai Abu Muhammad?”

Jawab, “Disediakan Allah Ta'ala untuk Abu Darda', karena Dia telah menolak kemewahan dunia dengan mudah dan lapang dada