Thursday, September 08, 2005

ABU HURAIRAH R.A. (ARTIKEL 1)

Akrab Dengan Kelaparan
Tokoh kita ini biasa berpuasa sunah tiga hari setiap awal bulan Qamariah (bulan Arab dalam penanggalan Hijri), mengisi malam harinya dengan membaca Al-Quran dan salat tahajud. Akrab dengan kemiskinan, dia sering mengikatkan batu ke perutnya, guna menahan lapar. Dalam sejarah ia dikenal paling banyak meriwayatkan hadis. Dialah Bapak Kucing Kecil (Abu Hurairah), begitu orang mengenalnya.

"Aku sudah dengar pergunjingan kalian. Kata kalian, Abu Hurairah terlalu banyak meriwayatkan hadis Nabi. Padahal, para sahabat muhajirin dan anshar sendiri tak ada yang meriwayatkan hadis Nabi sebanyak yang dituturkan Abu Hurairah. Ketahuilah, saudara-saudaraku dari kaum muhajirin disibukkan dengan perniagaan mereka di pasar. Sementara saudara-saudaraku dari anshar disibukkan dengan kegiatan pertanian mereka. Dan aku seorang papa, termasuk golongan kaum miskin shuffah (yang tinggal di pondokan masjid). Aku tinggal dekat Nabi untuk mengisi perutku. Aku hadir (di samping Nabi) ketika mereka tidak ada, dan aku selalu mengingat-ingat ketika mereka melupakan."

Abu Hurairah adalah sahabat yang sangat dekat dengan Nabi. Ia dikenal sebagai salah seorang ahli shuffah, yaitu orang-orang papa yang tinggal di pondokan masjid (pondokan ini juga diperuntukkan buat para musafir yang kemalaman). Begitu dekatnya dengan Nabi, sehingga beliau selalu memanggil Abu Hurairah untuk mengumpulkan ahli shuffah, jika ada makanan yang hendak dibagikan.

Karena kedekatannya itu, Nabi pernah mempercayainya menjaga gudang penyimpan hasil zakat. Suatu malam seseorang mengendap-endap hendak mencuri, tertangkap basah oleh Abu Hurairah. Orang itu sudah hendak dibawa ke Rasulullah. "Ampun tuan, kasihani saya," pencuri itu memelas. "Saya mencuri ini untuk menghidupi keluarga saya yang kelaparan."

Abu Hurairah tersentuh hatinya, maka dilepasnya pencuri itu. "Baik, tapi jangan kamu ulangi perbuatanmu ini." Esoknya hal ini dilaporkan kepada Nabi. Nabi tersenyum. "Lihat saja, nanti malam pasti ia kembali."

Benar pula, malam harinya pencuri itu datang lagi. "Nah, sekarang kamu tidak akan kulepas lagi." Sekali lagi, orang itu memelas, hingga Abu Hurairah tersentuh hatinya. Tapi, ketika hal itu dilaporkan kepada Nabi, kembali beliau mengatakan hal yang sama. "Lihat saja, orang itu akan kembali nanti malam."

Ternyata pencuri sialan itu benar-benar kembali. "Apa pun yang kamu katakan, jangan harap kamu bisa bebas. Sudah dua kali kulepas, kamu tak kapok-kapok juga."

Eh, pencuri itu malah menggurui. "Abu Hurairah, sebelum kamu tidur, bacalah ayat kursi agar setan tidak menyatroni kamu."

Merasa mendapat pelajaran berharga, Abu Hurairah terharu. Ah, ternyata orang baik-baik, pikirnya.

"Apa yang dikatakan orang itu memang benar," sabda Nabi ketika dilapori pagi harinya. "Tapi orang itu bukan orang baik-baik. Dia adalah setan. Dia katakan itu supaya dia kamu bebaskan."

Mengikatkan Batu ke Perut.
Abu Hurairah adalah salah seorang tokoh kaum fakir miskin. Abu Hurairah sering lapar ketimbang kenyang. Ia sosok yang teguh berpegang pada sunah Nabi. Ia kerap menasihati orang agar jangan larut dengan kehidupan dunia dan hawa nafsu. Ia tak membedakan antara kaum kaya dan kaum miskin, petinggi negeri atau rakyat jelata dalam menyampaikan kebenaran. Ia pun selalu bersyukur kepada Allah dalam keadaan susah dan senang.

Orang yang nama lengkapnya Abdur Rahman (versi lain: Abdu Syams) ibn Shakhr Ad-Dausi ini adalah sosok humoris. Banyak anekdot yang berasal darinya. Ia pun suka menghibur anak-anak kecil. Ia pecinta kucing kecil. Ke mana-mana dibawanya binatang ini, sehingga julukan Abu Hurairah (bapak kucing kecil) pun melekat padanya.

Dibanding Nabi, umurnya lebih muda sekitar 30 tahun. Dia lahir di Daus, sebuah desa miskin di padang pasir Yaman. Hidup di tengah kabilah Azad, ia sudah yatim sejak kecil, yang membantu ibunya menjadi penggembala kambing.

Dia masuk Islam tak lama setelah pindah ke Madinah pada tahun ketujuh hijriah, bersamaan dengan rencana keberangkatan Nabi ke Perang Khaibar. Tapi ibundanya belum mau masuk Islam. Malah sang ibu pernah menghina Nabi. Ini membuatnya sedih. Untuk itu, ia memohon Nabi berdoa agar ibunya masuk Islam. Kemudian Abu Hurairah kembali menemui ibunya, mengajaknya masuk Islam. Ternyata sang ibu telah berubah, bersedia mengucapkan dua kalimat syahadat.

Buruh Kasar
Akan halnya kepindahannya ke Madinah adalah untuk mengadu nasib. Di sana ia bekerja serabutan, menjadi buruh kasar bagi siapa pun yang membutuhkan tenaganya. Acap kali dia harus mengikatkan batu ke perutnya, guna menahan lapar yang amat sangat.

Menurut shahibul hikayat, ia pernah kedapatan berbaring di dekat mimbar masjid. Gara-gara perbuatan aneh itu, orang mengiranya agak kurang waras. Mendengar kasak-kusuk di kalangan sahabat ini, Nabi segera menemui Abu Hurairah. Abu Hurairah bilang, ia tidak gila, hanya ia lapar. Nabi pun segera memberinya makanan.

Suatu kali, dengan masih mengikatkan batu ke perutnya, dia duduk di pinggir jalan, tempat orang biasanya berlalu lalang. Dilihatnya Abu Bakr melintas. Lalu dia minta dibacakan satu ayat Al-Quran. "Aku bertanya begitu supaya dia mengajakku ikut, memberiku pekerjaan," tutur Abu Hurairah. Tapi Abu Bakr cuma membacakan ayat, lantas berlalu.

Dilihatnya Umar ibn Khattab. "Tolong ajari aku ayat Al-Quran," kata Abu Hurairah. Kembali ia harus menelan ludah kekecewaan karena Umar berbuat hal yang sama. #Tak lama kemudian Nabi lewat. Nabi tersenyum. "Beliau tahu apa isi hati saya. Beliau bisa membaca raut muka saya secara tepat," tutur Abu Hurairah.

"Ya Aba Hurairah!" panggil Nabi.
"Labbaik, ya Rasulullah!"
"Ikutlah aku!"

Beliau mengajak Abu Hurairah ke rumahnya. Di dalam rumah didapati sebaskom susu. "Dari mana susu ini?" tanya Rasulullah. Beliau diberi tahu bahwa seseorang telah memberikan susu itu.
"Ya Aba Hurairah!" *#"Labbaik, Ya Rasulullah!"
"Tolong panggilkan ahli shuffah," kata Nabi. Susu tadi lalu dibagikan kepada ahli shuffah, termasuk Abu Hurairah. Sejak itulah, Abu Hurairah mengabdi kepada Rasulullah, bergabung dengan ahli shuffah di pondokan masjid.

Sepulang dari Perang Khaibar, Nabi melakukan perluasan terhadap Masjid Nabawi, yaitu ke arah barat dengan menambah tiga pilar lagi. Abu Hurairah terlibat pula dalam renovasi ini. Ketika dilihatnya Nabi turut mengangkat batu, ia meminta agar beliau menyerahkan batu itu kepadanya. Nabi menolak seraya bersabda, "Tiada kehidupan sebenarnya, melainkan kehidupan akhirat."

Abu Hurairah sangat mencintai Nabi. Sampai-sampai dia memilih dipukul Nabi karena melakukan kekeliruan ketimbang mendapatkan makanan yang enak. "Karena Nabi menjanjikan akan memberi syafaat kepada orang yang pernah merasa disakitinya secara sengaja atau tidak," katanya.

Begitu cintanya kepada Rasulullah sehingga siapa pun yang dicintai Nabi, ia ikut mencintainya. Misalnya, ia suka mencium Hasan dan Husain, karena melihat Rasulullah mencium kedua cucunya itu.

Ada cerita menarik menyangkut kehidupan Abu Hurairah dan masyarakat Islam zaman itu. Meski Abu Hurairah seorang papa, boleh dibilang tuna wisma, salah seorang majikannya yang lumayan kaya menikahkan putrinya, Bisrah binti Gazwan, dengan lelaki itu. Ini menunjukkan betapa Islam telah mengubah persepsi orang dari membedakan kelas kepada persamaan. Abu Hurairah dipandang mulia karena kealiman dan kesalihannya. Perilaku islami telah memuliakannya, lebih dari kemuliaan pada masa jahiliah yang memandang kebangsawanan dan kekayaan sebagai ukuran kemuliaan.

Sejak menikah, Abu Hurairah membagi malamnya atas tiga bagian: untuk membaca Al-Quran, untuk tidur dan keluarga, dan untuk mengulang-ulang hadis. Ia dan keluarganya meskipun kemudian menjadi orang berada tetap hidup sederhana. Ia suka bersedekah, menjamu tamu, bahkan menyedekahkan rumahnya di Madinah untuk pembantu-pembantunya.

Tugas penting pernah diembannya dari Rasulullah. Yaitu ketika ia bersama Al-Ala ibn Abdillah Al-Hadrami diutus berdakwah ke Bahrain.

Belakangan, ia juga bersama Quddamah diutus menarik jizyah (pajak) ke Bahrain, sambil membawa surat ke Amir Al-Munzir ibn Sawa At-Tamimi.

Menolak Jabatan
Mungkin karena itu, ketika Umar menjadi amirul mukminin, Abu Hurairah diangkat menjadi gubernur Bahrain. Tapi pada 23 Hijri Umar memecatnya gara-gara sang gubernur kedapatan menyimpan banyak uang (menurut satu versi, sampai 10.000 dinar). Dalam proses pengusutan, ia mengemukakan upaya pembuktian terbalik, bahwa harta itu diperolehnya dari beternak kuda dan pemberian orang. Khalifah menerima penjelasan itu dan memaafkannya. Lalu ia diminta menduduki jabatan gubernur lagi, tapi ia menolak.

Penolakan itu diiringi lima alasan. "Aku takut berkata tanpa pengetahuan; aku takut memutuskan perkara bertentangan dengan hukum (agama); aku ogah dicambuk; aku tak mau harta benda hasil jerih payahku disita; dan aku takut nama baikku tercemar," kilahnya. Ia memilih tinggal di Madinah, menjadi warga biasa yang memperlihatkan kesetiaan kepada Umar, dan para pemimpin sesudahnya.

Tatkala kediaman Amirul Mukminin Ustman ibn Affan dikepung pemberontak, dalam peristiwa yang dikenal sebagai al-fitnatul kubra (bencana besar), Abu Hurairah bersama 700 orang Muhajirin dan Anshar tampil mengawal rumah tersebut. Meski dalam posisi siap tempur, Khalifah melarang pengikut setianya itu memerangi kaum pemberontak.

Pada masa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah ditawari menjadi gubernur di Madinah. Ia menolak. Ketika terjadi pertemuan antara Khalifah Ali dan lawannya, Muawiyah ibn Abi Sufyan, ia bersikap netral dan menghindari fitnah. Sampai kemudian Muawiyah berkuasa, Abu Hurairah bersedia menjadi gubernur di Madinah. Tapi versi lain mengatakan, Marwan ibn Hakamlah yang menunjuk Abu Hurairah sebagai pembantunya di kantor gebernuran Madinah. Di Kota Penuh Cahaya (Al-Madinatul Munawwarah) ini pula ia mengembuskan nafas terakhir pada 57 atau 58 H. (676-678 M.) dalam usia 78 tahun. Meninggalkan warisan yang sangat berharga, yakni hadis-hadis Nabi, bak butiran-butiran ratna mutu manikam, yang jumlahnya 5.374 hadis.

Abu Darda’

Uwaimir bin Malik Al Khazraji yang digelari Abu Darda' bangun dari tidurnya pagi pagi sekali. Setelah itu dia pergi menuju berhala sembahannya di sebuah kamar yang paling istimewa dalam rumahnya. Dia membungkuk memberi hormat kepada patung tersebut, kemudian diminyakinya dengan wangi-wangian termahal yang terdapat dalam tokonya yang besar. Sesudah itu patung tersebut diberi pakaian baru yang terbuat dari sutera megah, yang diperolehnya kemarin dari seorang pedagang yang datang dari Yaman dan sengaja mengunjunginya.

Setelah matahari agak tinggi, barulah Abu darda' masuk ke rumah dan bersiap hendak pergi ke tokonya, tiba-tiba jalan di Yastsrib menjadi ramai, penuh sesak dengan para pengikut Nabi Muhammad yang baru kembali dari peperangan Badar. Di muka sekali terlihat sekumpulan tawanan terdiri dari orang-orang Quraisy. Abu Darda' mendekati orang ramai dan bertemu dengan seorang pemuda suku Khazraj. Abu darda' menanyakan kepadanya dimana 'Abdullah bin Rawahah.

Pemuda Khazraj tersebut menjawab dengan hati- hati pertanyaan Abu Darda', karena dia tahu bagaimana hubungan Abu Darda' dengan 'Abdullah bin Rawahah. Mereka tadinya adalah dua orang teman akrab di masa jahily. Setelah Islam datang, “Abdullah bin Rawahah segera masuk Islam, sedangkan Abu Darda' tetap dalam kemusyrikan.

Tetapi hal itu tidak menyebabkan hubungan persahabatan kedua orang tersebut menjadi putus. Karena 'Abdullah berjanji akan mengunjungi Abu Darda' sewaktu-waktu, untuk mengajak dan menariknya ke dalam Islam. Dia kasihan kepada Abu Darda', karena umurnya habis tersia-sia setiap hari dalam kemusyrikan.

Abu Darda' tiba di toko pada waktunya. Ia duduk bersila diatas kursi, sibuk jual beli dan mengomandoi para pelayan. Sementara itu ' Abdullah bin Rawahah datang ke rumah Abu Darda'. Sampai di sana ia melihat Ummu Darda' di halaman rumahnya. “ Assalamu'alaiki. Ya amatallah, “ ( Semoga Anda bahagia, hai hamba Allah ). “ kata 'Abdullah memberi salam. “ Wa 'alaikassalam, ya akha Abi Darda' “ ( Dan semoga Anda bahagia pula, hai sahabat Abu Darda'), jawab Ummu Darda.

“Kemana Abu Darda'', tanya 'Abdullah.

“Dia ke toko, tetapi tidak lama lagi dia akan pulang,” jawab Ummu Darda'

“Boleh saya masuk?” tanya 'Abdullah.

'Dengan segala senang hati! Silakan! Jawab Ummu Darda'. Ummu Darda' melapangkan jalan bagi 'Abdullah, kemudian dia masuk ke dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak.

'Abdullah bin Rawahah masuk ke kamar tempat Abu Darda' meletakkan patung sembahannya. Dikeluarkannya kapak yang sengaja dibawanya. Dihampirinya patung itu lalu dikapaknya hingga berkeping-keping. Katanya, “ ketahuilah, setiap yang disembah selain Allah adalah batil!”

Setelah selesai menghancurkan patung tersebut, dia pergi meninggalkan rumah. Ummu Darda' masuk ke kamar tempat patung berada. Alangkah terperanjatnya dia, ketika dilihatnya patung telah hancur berkeping keping dan berserakan di lantai. Ummu Darda' meratap menampar nampar kedua pipinya seraya berkata, “Engkau celakakan saya, hai Ibnu Rawahah.”

Tidak berapa lama kemudian Abu Darda' pulang dari toko. Didapatinya istrinya duduk dekat pintu kamar patung sambil menangis. Rasa cemas dan takut kelihatan jelas di wajahnya.

“Mengapa engkau menangis? ' tanya Abu Darda'

“Teman Anda, ' Abdullah bin Rawahah tadi datang kemari ketika Anda sedang di toko. Dia telah menghancurkan patung sembahan Anda. Cobalah Anda saksikan sendiri,”jawab Ummu Darda'

Abu Darda' menengok ke kamar patung, dilihatnya patung itu sudah hancur berkeping-keping. Maka timbullah marahnya. Mulanya dia bermaksud hendak mencari 'Abdullah. Tetapi setelah kemarahannya berangsur padam, dia memikirkan kembali apa yang sudah terjadi. Kemudian katanya,”seandainya patung itu benar Tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri.”

Maka ditinggalkannya patung yang menyesatkan itu, lalu dia pergi mencari 'Abdullah bin Rawahah. Bersama sama dengan 'Abdullah, dia pergi menghadap Rasulullah SAW dan menyatakan masuk agama Allah di hadapan beliau.

Sejak detik pertama Abu Darda' beriman dengan Allah dan Rasul-Nya, dia beriman dengan sebenar benar iman. Dia sangat menyesal agak terlambat masuk Islam. Sementara itu kawan-kawannya yang telah lebih dahulu masuk Islam, telah memperoleh pengertian yang dalam tentang agama Allah ini, hafal Al Qur'an, senantiasa beribadat, dan taqwa yang selalu mereka tanamkan dalam diri mereka di sisi Allah. Karena itu dia bertekad hendak mengejar ketinggalannya dengan sungguh-sungguh, sekali pun dia harus berpayah-payah siang dan malam, hingga tersusul orang-orang yang berangkat lebih dahulu. Dia berpaling kepada ibadat dan memutuskan hubungan dengan dunia, mencurahkan perhatian kepada ilmu seperti orang kehausan mempelajari Al Qur'an dengan tekun dan menghafalkan ayat-ayat, serta menggali pengertiannya sampai dalam. Tatkala dirasakannya perdagangannya mengganggu dan merintanginya untuk beribadat dan menghadiri majelis-majelis ilmu, maka ditinggalkannya perusahaannya tanpa ragu dan penyesalan.

Berkenan dengan sikapnya yang tegas itu orang pernah bertanya kepadanya. Maka dijawabnya, “Sebelum masa Rasulullah saya menjadi seorang pedagang. Maka setelah saya masuk Islam, saya ingin menggabungkan berdagang untuk beribadat. Demi Allah, yang jiwa Abu Darda' dalam kuasa-Nya, saya akan menggaji penjaga pintu masjid supaya saya tidak luput shalat berjamaah, kemudian saya berjual beli dan berlaba setiap hari 300 dinar.”

Kemudian dia menengok kepada si penanya dan berkata, “Saya tidak mengatakan bahwa Allah Ta'ala mengharamkan berniaga. Tetapi saya ingin menjadi pedagang, bila perdagangan dan jual beli tidak mengganggu saya untuk berdzikrullah ( berdzikir).”
#Abu Darda' tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya sekedar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya sudah cukup sesuap nasi sekedar untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian kasar untuk menutupi tubuh.

Pada suatu malam yang sangat dingin, sekelompok jamaah bermalam di rumahnya. Abu Darda', menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, mereka mempertanyakan selimut, Seorang diantaranya berkata, “Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda'.”

Kata yang lain tidak, 'Tidak perlu!”

Tetapi orang yang seorang itu menolak saran orang yang tidak menuju. Dia terus pergi ke kamar Abu Darda'. Sampai di muka pintu dilihatnya Abu Darda' berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan. Orang itu bertanya kepada Abu Darda', Saya lihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa selimut. Kemana saja kekayaan dan harta benda Anda?”

Jawab Abu Darda', “kami mempunyai rumah di kampung sana. Harta benda kami langsung kami kirimkan kesana setiap kami peroleh. Seandainya masih ada yang tinggal di sini (berupa selimut), tentu sudah kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki. Karena itu susah membawa barang yang berat-berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa.”

Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang itu, “Pahamkah Anda?”

Jawab orang itu, “Ya, saya mengerti. Semoga Anda di karuniai Allah segala kebaikan.”

Pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin Khatab, 'Umar mengangkat Abu darda' menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi Abu Darda' menolak pengangkatan tersebut. Khalifah Umar marah kepadanya. Lalu kata Abu Darda'. “Bilamana Anda menghendaki saya pergi ke Syam, saya mau pergi untuk mengajarkan Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah kepada mereka, serta menegakkan shalat bersama sama dengan mereka.”

Khalifah Umar menyukai rencana Abu Darda' tersebut. Lalu Abu Darda' berangkat ke Damsyik. Sampai di sana didapatinya masyarakat telah mabuk kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat menyedihkannya. Maka dipanggilnya orang banyak ke masjid, lalu dia berpidato di hadapan mereka. Katanya :

“Wahai penduduk Damsyiq! Kalian adalah saudaraku seagama ; tetangga senegeri; dan pembela dalam melawan musuh bersama.

Wahai penduduk Damsyiq! Saya heran, apakah gerangan sebabnya kalian tidak menyenangi saya, dan tidak menerima nasehat saya? Padahal saya tidak mengharapkan balas jasa dari kalian. Nasehatku berguna untuk kalian, sedangkan belanjaku bukan dari kalian.

Saya tidak suka melihat ulama-ulama pergi meninggalkan kalian, sementara orang-orang bodoh tetap saja bodoh.

Saya hanya mengharapkan kalian supaya melaksanakan segala perintah Allah Ta'ala, dan menghentikan segala larangan-Nya.

Saya tidak suka melihat kalian mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya, tetapi tidak kalian pergunakan untuk kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung yang mewah, tetapi tidak kalian tempati atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak mungkin tercapai oleh kalian.

Bangsa-bangsa sebelum kamu pernah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan bercita cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya sebentar, harta yang mereka tumpuk habis kikis, cita- cita mereka hancur berantakan, dan bangunan-bangunan mewah yang mereka bangun rubuh menjadi kuburan.

Hai penduduk Damsyiq! Itulah bangsa 'Ad ( kaum Nabi Hud a.s) yang telah memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak.

Siapakah di antara kalian yang berani sekarang membeli daripadaku peninggalan kaum 'Ad itu dengan harga dua dirham?”

Mendengar pidato Abu Darda' tersebut orang banyak menangis, sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid.

Sejak hari itu Abu Darda' senantiasa mengunjungi majelis-majelis masyarakat Damsyiq dan pergi ke pasar - pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya dijawabnya, jika dia bertemu dengan seorang bodoh, diajarinya ;dan jika dia melihat orang terlalai, diingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan yang baik, sesuai dengan situasi dan kondisi, serta kemampuan yang ada padanya.

Pada suatu ketika dia melihat sekelompok orang mengeroyok seorang lelaki. Laki-laki itu babak belur dipukuli dan dicaci maki mereka. Abu Darda' datang menghampiri, lalu bertanya, “Apa yang terjadi? Mengapa begini?”

Jawab mereka, “Orang itu jatuh ke dalam dosa besar.”

Kata Abu Darda', “Karena itu janganlah kalian caci maki dia, dan jangan pula kalian pukuli. Tetapi berilah dia pengajaran dan sadarkan dia. Bersyukurlah kalian kepada Allah yang senantiasa memaafkan kalian dari segala dosa.”

Tanya mereka, “Apakah Anda tidak membencinya?”

Jawab Abu Darda', “Sesungguhnya saya membenci perbuatannya. Apabila dia telah menghentikan perbuatannya yang berdosa itu, maka dia adalah saudara saya.”

Orang itu menangis dan tobat dari kesalahannya.

Kali yang lain seorang pemuda mendatangi Abu Darda' dan berkata kepadanya,”Wahai sahabat Rasulullah! Ajarilah saya!”

Jawab Abu Darda',”Hai anakku! Ingatlah kepada Allah di waktu kamu bahagia. Maka Allah akan mengingatmu di waktu kamu sengsara.

Hai Anakku! Jadilah kamu pengajar, orang yang mau belajar dan orang yang mau mendengar. Dan jangan menjadi orang yang bodoh). Karena yang bodoh itu, pasti celaka.

Abu Darda' pernah pula melihat sekelompok pemuda duduk-duduk di pinggir jalan. Mereka ngobrol sambil melihat orang-orang yang lalu lalang. Abu Darda' menghampiri mereka dan berkata kepadanya, “Hai anak-anakku! Tempat yang paling baik bagi orang muslim adalah rumahnya. Di sana dia dapat memelihara diri dan pandangannya. Jauhilah duduk duduk di pinggir jalan dan dipasar - pasar, karena hal itu menghabiskan waktu dengan percuma.”

Ketika Abu Darda' tinggal di Damsyiq, yang menjadi gubernur waktu itu ialah Mu'awiyah bin Abu Sufyan. Mu'awiyah melamar anak gadis Abu Darda' (yaitu Darda') untuk puteranya Yazid. Abu Darda' menolak lamaran Mu'awiyah tersebut. Dia tidak mau mengawinkan anak gadisnya, Darda', dengan Yazid (putera Gubernur). Bahkan Darda' dikawinkannya dengan pemuda muslim, anak kebanyakan. Abu Darda' menyukai agama dan akhlak pemuda itu. Orang banyak heran dengan sikap Abu Darda' dan berbisik bisik sesama mereka, “Anak gadis Abu Darda' dilamar oleh Yazid bin Mu'awiyah, tetap lamarannya di tolak. Kemudian Abu Darda' mengawinkan putrinya dengan seorang pemuda muslim anak orang kebanyakan.”

Seorang penanya bertanya kepada Abu Darda', mengapa dia bertindak seperti itu. Jawab Abu Darda', “Saya bebas berbuat sesuatu untuk kemaslahatan Darda'.”

Tanya,”Mengapa?”

Jawab Abu darda', “Bagaimana pendapat Anda, apabila nanti Darda' telah berada di tengah-tengah inang pengasuh yang senantiasa siap sedia melayaninya, sedangkan dia berada dalam istana yang gemerlapan menyilaukan mata, akan kemana jadinya agama Darda' ketika itu?”

Pada suatu waktu ketika Abu Darda' berada di negeri Syam, Amirul Mukminin 'Umar bin Khattab datang memeriksa. Khalifah mengunjungi sahabat itu di rumahnya malam hari. Ketika Khalifah membuka pintu rumah Abu Darda', ternyata pintu itu tidak dikunci dan rumah gelap tanpa lampu. Ketika Abu Darda' mendengar suara Khalifah, Abu Darda berdiri mengucapkan selamat datang dan menyilahkan Khalifah Umar duduk. Keduanya segera terlibat dalam pembicaraan - pembicaraan penting, padahal kegelapan menyelubungi keduanya, sehingga masing - masing tidak melihat kawannya berbicara.

Khalifah 'Umar meraba -raba bantal alas duduk Abu Darda', ternyata sebuah pelana kuda. Dirabanya pula kasur tempat tidur Abu Darda', ternyata berisi pasir belaka. Dirabanya pula selimut, kiranya pakaian- pakaian tipis yang tidak mencukupi untuk musim dingin.

Kata khalifah 'Umar, “Semoga Alah melimpahkan rahmat-Nya kepada Anda. Maukah Anda saya bantu? Maukah Anda saya kirimi sesuatu untuk melapangkan kehidupan Anda?”

Jawab Abu Darda'. “Ingatlah Anda hai 'Umar-sebuah hadist yang disampaikan Rasulullah kepada kita?”

Tanya Umar, “Hadist apa gerangan?”

Jawab Abu Darda', Bukankah Rasulullah telah bersabda: 'Hendaklah puncak salah seorang kamu tentang dunia, seperti perbekalan seorang pengendara ( yaitu secukupnya dan seadanya).'

Jawab Khalifah Umar, “Ya, saya ingat!”

Kata Abu Darda', “Nah, apa yang telah kita perbuat sepeninggal beliau, hai Umar?”

Khalifah Umar menangis, Abu Darda'pun menangis pula. Akhirnya mereka berdua bertangis tangisan sampai subuh.

Abu Darda' menjadi guru selama tinggal di Damsyiq.Dia memberi pengajaran kepada penduduk, memperingatkan mereka, mengajarkan Kitab (Al Qur'an) dan Hikmah kepada mereka sampai dia meninggal.

Tatkala Abu Darda' hampir meninggal, para sahabatnya datang berkunjung. Mereka bertanya,”sakit apa yang Anda rasakan?”

Jawab Abu Darda',”Dosa-dosaku!”

Tanya,”Apa yang Anda inginkan?”

Jawab,”Ampunan Tuhanku.”

Kemudian dia berkata kepada orang-orang yang hadir disekitarnya, “Ulangkanlah kepadaku kalimah “ Laa ilaaha illallah, Muhammad Rasulullah.”

Abu Darda'senantiasa membaca kalimah tersebut berulang-ulang hingga nafasnya yang terakhir.

Setelah Abu Darda' pergi menemui Tuhannya, Abu Muhammad berkata pada Auf bin Malik “hai, Ibnu malik! Inilah karunia Allah kepada kita berkat Al Qur'an. Seandainya engkau mengawasi jalan ini, engkau akan melihat suatu pemandangan yang belum pernah engkau saksikan, dan mendengar sesuatu yang belum pernah engkau dengar, dan tidak pernah terlintas dalam pikiranmu.”

Tanya 'Auf bin Malik,”Untuk siapa semuanya, hai Abu Muhammad?”

Jawab, “Disediakan Allah Ta'ala untuk Abu Darda', karena Dia telah menolak kemewahan dunia dengan mudah dan lapang dada

Tuesday, August 16, 2005

Habib Hassan al-Attas - Tokoh korporat dan pendidik Pahang



Habib Hassan bin Syed Ahmad al-Attas merupakan salah seorang tokoh korporat dan pendidik peringkat awal di negeri Pahang. Iaitu sewaktu pemerintahan Sultan Ahmad al-Muadzam Syah (1836-1914), Sultan Pahang yang pertama.

Tokoh ini dipercayai berasal dari Timur Tengah yang datang ke Singapura sejak kecil. Kemudian beliau berpindah ke negeri Pahang untuk mencari kehidupan yang selesa. Hal ini demikian kerana pada waktu itu negeri Pahang mempunyai hasil mahsul yang makmur. Selain seorang korporat, beliau juga terkenal sebagai seorang tokoh agama yang disegani. Malah di samping berniaga pada waktu itu, Habib Hassan juga mementingkan didikan agama. Dalam hal ini, keluarga serta orang-orang yang di bawah jagaannya dipastikan mendapat didikan agama yang sempurna.

Pada masa ini, negeri Pahang terkenal dengan hasil bijih timah dan emas. Hasil galian itu didapati di Lembah Sungai Kuantan dan di beberapa tempat di daerah Lipis. Antaranya terdapat di Penjom, Tanum, Telum, Raub, Yong, Sampan, Cheka, Selinsing, dan banyak lagi. Sebagai seorang korporat, Habib Hassan membeli dan menjual bijih timah dan emas. Dalam masa yang sama beliau juga membawa masuk pekerja-pekerja dari Singapura untuk mengusahakan lombong tersebut.

Kebanyakan pekerja yang dikendalikan oleh Habib Hassan terdiri daripada orang-orang Cina. Pengusaha lombong di situ mendapatkan pekerja tersebut daripada Habib Hassan dengan perkiraan kadar yang munasabah. Oleh hal yang demikian Habib Hassan sentiasa dihormati oleh orang-orang Cina khususnya yang datang mencari nafkah di Pahang. Dalam kalangan mereka bukan sahaja menjadi pekerja lombong malah ada yang menjadi tauke.

Pengaruh Habib Hassan di kalangan orang-orang Cina ini memudahkan tokoh ini menyelesaikan masalah yang timbul. Sebenarnya, pada waktu ini perusahaan mengeluarkan bijih timah dan emas bukan sahaja dijalankan oleh orang-orang Cina dan penduduk tempatan. Tetapi turut diusahakan juga oleh pihak Inggeris dan Australia. Mereka ini memajak tanah-tanah atau kawasan-kawasan bijih timah dan emas dari Kerajaan Pahang dengan cara tertentu.

Dalam perusahaan ini, pelbagai pihak cuba mengaut keuntungan yang banyak terutama pihak Inggeris dan Cina. Walau bagaimanapun keadaan ini dapat dikawal oleh pihak Sultan dengan bantuan orang-orang besar baginda. Hal ini demikian kerana kebanyakan kawasan perusahaan bijih timah dan emas dipajakkan kepada orang Inggeris dan Cina.

Walau bagaimanapun Habib Hassan yang telah meminta kebenaran Sultan untuk mendapat kuasa mengendalikan pekerja masih gagal. Pihak Inggeris menolak usahanya. Dengan peristiwa ini, Sultan Ahmad dapat membaca akan helah pihak Inggeris. Mereka mahu membolot segala kekayaan bijih di negeri Pahang. Oleh hal yang demikian, pada tahun 1887 baginda telah membatalkan beberapa perjanjian pajakan dengan Inggeris. Jadi, beberapa kawasan terutamanya di Kuantan tidak boleh dilakukan perlombongan. Hal ini sangat mendukacitakan pihak Inggeris.

Oleh sebab itu, Hugh Clifford yang menjadi wakil Residen Inggeris di Pahang pada tahun 1888 telah menyusun satu undang-undang perusahaan. Undang-undang itu meliputi peraturan pekerja perusahaan bijih dan tanggungjawab majikan terhadap pekerja-pekerja. Peraturan ini kemudiannya telah disesuaikan oleh Sultan Ahmad demi kebajikan rakyat baginda. Walau bagaimanapun, Habib Hassan mendapati terdapat kekurangan dalam beberapa peraturan yang telah diluluskan itu. Padanya peraturan itu banyak menyebelahi Inggeris dan menguntungkan mereka.

Dalam hal ini, Habib Hassan banyak memberi pandangan kepada baginda Sultan tentang usaha jahat Inggeris di Pahang itu. Mereka mahu mengaut kekayaan melalui hasil mahsul dengan pelbagai cara yang licik. Pandangannya itu termasuk pemberian ganjaran kepada pembesar negeri yang terlibat di kawasan perlombongan

Pada awal kedatangan Habib Hassan ke negeri Pahang, tokoh ini telah meneroka sebuah pulau di Kuala Sungai Pahang. Dia telah menjalankan operasi mengambil pekerja-pekerja Cina dari Singapura ke pulaunya. Pulau ini sekarang terkenal dengan nama Pulau Habib Hassan. Beliau dan penghuni lain menanam kelapa di pulau ini. Pulau tersebut dijadikan lokasi dan tempat kediamannya adalah kerana kemudahan laluan kenderaan laut. Pada masa itu pengangkutan seperti kapal kecil, tongkang, dan lain-lain mengguna laluan tersebut. Sebahagiannya datang dari Singapura. Di pulau ini juga Habib Hassan menempatkan bijih timah yang akan dihantar ke Singapura. Keadaan pulau yang dikelilingi oleh air memudahkan beliau dan orang-orangnya menjaga keselamatan diri dan harta.

Pada penghujung usianya, Habib Hassan dilantik menjadi salah seorang daripada penjaga khazanah negeri. Tokoh ini menjadi orang kepercayaan Sultan untuk mentadbir khazanah Sultan. Pada masa yang sama, Habib Hassan dilantik menjadi ketua agama Islam di istana. Beliau mengendalikan hal-ehwal agama Islam di istana Sultan Ahmad termasuk mengajar agama dan mengaji al-Quran.

Tugas beliau sebagai pegawai istana, menjadikan Habib Hassan seorang yang berpengaruh dalam masyarakat. Apatah lagi beliau sendiri yang mempunyai lebihan harta banyak menyumbang kepada agama. Pada tahun 1921 beliau telah mendirikan sebuah sekolah agama yang diberi nama Madrasatul ‘Arabiah al-Attas di Kampung Ketapang, Pekan. Mata pelajaran #yang diajar di sekolah ini ialah bahasa Arab, Ilmu Hisab, tawarikh (sejarah), Ilmu Alam (geografi) di samping pengetahuan agama Islam yang menjadi asas pengajian. Sekolah ini mendapat sambutan semua golongan masyarakat termasuk golongan istana.

Sekolah ini kekal hingga sekarang dan kini ditadbirkan oleh Kerajaan Negeri Pahang sejak tahun 60-an. Sebagai tokoh agama serta usahawan yang berjaya, Habib Hassan perlu dikenang. Jasa-jasa tokoh ini wajar ditulis dalam sejarah perkembangan pendidikan dan agama Islam khususnya dalam pembinaan negeri Pahang. Begitu juga dalam membangunkan masyarakat dalam bidang ekonomi. Dari sumber rujukan yang dibuat, tidak dapat ditentukan bila tokoh ini dilahirkan dan bila pula dia meninggal dunia. Namun yang dapat dikesan ialah Habib Hassan turut memberi sumbangan kepada kerajaan Pahang semasa pemerintahan Sultan Mahmud dan Sultan Abdullah.

Tuan Hussain Kedah



Pelopor Institusi Pengajian Pondok

TUAN Hussain Kedah atau nama sebenarnya Hussain bin Nasir bin Muhamad Taib dilahirkan di Titi Gajah, Alor Setar pada 2 November 1863 bersamaan 20 Jamadil Awal, 1280 Hijrah. Tuan Hussain berasal dari keluarga ulama’ yang tinggal di Kalimantan. Pada sekitar tahun 1841 Haji Mas’ud, datuk Tuan Hussain singgah di Sungai Kedah dalam perjalanan pulang ke Kalimantan dari Makkah. Di kesempatan itu Haji Mas’ud telah memainkan peranan penting membantu kerajaan Kedah dalam perang menentang Siam. Walau bagaimanapun, haji Mas’ud telah syahid dalam peperangan itu pada tahun 1842. Melihat keadaan itu, anaknya Muhamad Taib dan ahli keluarga yang lain telah mengambil keputusan untuk menetap di Kedah untuk mencari kehidupan baru. Kelahiran Tuan Hussain dalam keluarga ini terus memberi sinar khususnya dalam perkembangan dakwah Islamiah. Apatah lagi, keluarga Muhamad Taib terdiri di kalangan warisan ulama’.

Dalam sejarah perjuangannya, Tuan Hussain merupakan seorang penulis kitab-kitab agama yang terkenal di Nusantara. Tokoh ini telah menghasilkan 18 buah kitab mengenai fiqh, tauhid, dan tasawuf. Dalam mendidik ummah setempat pula Tuan Hussain mengajarkan tulisan jawi serta mendirikan pondok sebagai institusi pendidikan.

Beliau mendirikan sekolah pondok di beberapa kawasan di Kedah dalam usahanya mengukuhkan pendidikan Islam. Antara tempat-tempat tersebut ialah di Bohor, Selengkoh, Padang Lumat serta di Pokok Sena, Seberang Perai. Satu perkara yang menarik tentang tokoh ini ialah sistem dan disiplin yang diterapkan dan dilaksanakan dalam mengendalikan sekolah yang diasaskannya. Kawasan institusi pendidikan itu dilengkapi surau. Manakala rumah-rumah pondok (tempat penginapan) pelajar dibina secara tersusun. Untuk mereka yang berkeluarga dibina pondok di dalam kawasan sekolah. Manakala pelajar bujang didirikan pondok di kawasan luar.

Para pelajarnya terdiri daripada remaja belasan tahun hinggalah kepada orang tua yang berumur 50 tahun. Kebanyakan mereka terdiri daripada pelajar tempatan, namun ada juga yang datang dari Sumatera, Patani, dan Brunei. Hal ini menunjukkan betapa pengaruh pendidikan institusi pondok Tuan Hussain begitu meluas.

Meskipun sistem perhubungan pada waktu itu amat sukar lantaran institusi pendidikan belum banyak didirikan oleh pihak kerajaan (penjajah), namun cabaran ini telah menyemarakkan jiwa Tuan Hussain. Pada waktu itu pelajar digalakkan bekerja sendiri bagi menampung kehidupan. Sebahagian mereka bersawah padi bersama-sama penduduk tempatan.

Tuan Hussain menetapkan jadual belajar yang tekal untuk pelajar-pelajarnya. Beliau akan mengajar bermula dari tengah hari hingga petang. Waktu pembelajaran ini merangkumi sembahyang zuhur dan Asar secara berjemaah. Manakala pembantu-pembantu Tuan Hussain akan mengajar pada waktu malam.

Jadual yang disediakan itu adalah untuk memberi peluang kepada pelajar-pelajar pondok itu mencari nafkah kehidupan pada waktu pagi. Jadi, waktu tengah hari dan malam hanya masa untuk menumpukan kepada pelajaran.

Pondok Tuan Hussain semakin mendapat sambutan hebat daripada pelajar. Pada satu ketika terdapat lebih 50 buah pondok didirikan di satu-satu lokasi. Menyedari keadaan itu, Tuan Hussain memperkenalkan asrama (rumah panjang) yang boleh didiami oleh bilangan pelajar yang ramai.

Dalam satu-satu musim pengajian, pondok ini mempunyai lebih dari 400 orang pelajar dan angka ini ada kalanya mencapai lebih 1000 orang. Demikian bukti kejayaan hasil ke gigihan Tuan Hussain yang tiada siapa boleh menafikannya.

Selain mendengar kuliah yang disampaikan oleh Tuan Hussain dan pembantunya, para pelajar membaca kitab-kitab yang ditulis oleh Tuan Hussain. Mereka juga turut merujuk kepada nota-nota yang disalin oleh pelajar-pelajarnya yang terdahulu.

Terdapat 18 buah kitab yang ditulis oleh Tuan Hussain sendiri. Kitab itu turut digunakan di seluruh Nusantara baik melalui penerbitan mahupun yang dibawa oleh bekas pelajarnya yang datang dari seluruh pelosok alam Melayu. Antara kitab itu ialah al-Nur al-Mustafid fi Aqaid Ahi al-Tauhid (1887), Tamrin al-Sibyan (1809), Hidayat al-Sibyan (1911), Hidayat al-Mutafakkirin (1918), Kasr al-Iksir (1920), Hidayat al-Talibin (1924), Tadrih al-Sibyan (1926), dan banyak lagi.

Jelas di sini bahawa tokoh ini selain memberi kuliah, dia juga menulis, bahkan menurunkan ilmunya dalam bentuk dokumen yang sangat berharga. Semua itu dapat diwariskan hingga ke hari ini. Pastinya tokoh ini mempunyai disiplin masa yang begitu tersusun dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab.

Berdasarkan kepada keampuhan ilmu agama yang dimiliki oleh Tuan Hussain dalam bidang fiqh, tauhid, dan tasawuf, beliau mendapat perhatian dari Istana Perak. Tokoh ini mendapat undangan mengajar di Istana Bukit Chandan, Kuala Kangsar. Beliau juga ada mengajar di masjid di Teluk intan dan Parit. Sambutan yang diberikan oleh penduduk setempat amatlah meriah.

Selain itu beliau juga telah menterjemah hadith Jawahir al-Bukhari. Terjemahan itu kemudiannya dibukukan dan dinamakan Tadzkir Qabail al-Qadhi (1923). Tegasnya, tokoh ini arif dalam ilmu al-Quran dan hadith iaitu ilmu asas yang penting dalam Islam.

Sewaktu kecilnya, Tuan Hussain mendapat bimbingan agama daripada datuknya, Muhamad Taib. Kemudian dia berangkat ke Patani dan berguru dengan Tuan Semela di pondok uala’. Tokoh ini turut berguru di tempat-tempat lain seperti Terengganu, Kelantan, Perak, Selangor, dan Melaka. Akhirnya Tuan Hussain menyambung pengajian ke Makkah.

Ketika berada di Tanah Suci, Tuan Hussain mengambil kesempatan berguru dengan para ulama’ terkenal termasuklah Tuan Syeikh Hasbullah, Tuan Syeikh Nawawi Bentan, Tuan Syeikh Ahmad Lingga, Tuan Syeikh Umar Sumbawa, Tuan Syeikh Muhammad Khafat, dan Tuan Syeikh Umar Bali.

Di sana Tuan Hussain bertemu dengan ramai sahabat yang antaranya ialah Tok Kenali dari Kelantan, Haji Wan Sulaiman Sidik, dan Tuan Haji Yaakub Sik dari Kedah. Sekembalinya dari Makkah kira-kira tahun 1896, Tuan Hussain terus membuka pondok pengajian bagi memberi bimbingan kepada penduduk tempatan. Ketika itu beliau berusia dalam tiga puluhan.

Antara murid-murid Tuan Hussain yang terkenal ialah Datuk Haji Abdul Rahman Haji Abdullah, Haji Ismail Sulaiman, Haji Omar Merbok, dan Haji Ghazali Haji Arshad. Tradisi ilmu yang diasaskan dan dibina oleh Tuan Hussain ini terus dikembangkan oleh murid-muridnya. Selain itu sebahagian institusi pondok yang diasaskan oleh Tuan Hussain masih kekal sehingga sekarang. Antaranya ialah pondok Padang Lumat, Kedah dan Pokok Sena, Pulau Pinang.

Tuan Hussain sangat tegas dalam pendiriannya terutama dalam hal halal dan haram. Tokoh ini berpegang teguh kepada al-Quran dan hadith tanpa ada kompromi dengan alasan lain. Pendirian yang sedemikian ini kadang-kadang kurang disenangi oleh pihak pemerintah yang kadangkala mahu bertolak ansur.

Antara pendirian Tuan Hussain, beliau tetap mengharamkan sebarang bentuk perjudian sebagaimana tuntutan agama. Manakala wang zakat mesti diterima oleh orang-orang yang berhak dan tidak boleh diagihkan sesuka hati. Tetapi apabila hal berkenaan dijelaskan oleh Tuan Hussain berdasarkan kepada pegangan Islam, pemerintah dan rakyat dapat menerimanya. Mulai saat itu, beliau sangat disegani dan dihormati dalam mengendalikan hal ehwal agama Islam.

Tokoh ini meninggal dunia pada tahun 1936 dalam usia 73 tahun. Pada awalnya pihak istana Kedah berhasrat untuk mengebumikan jenazah Tuan Hussain di makam diraja Kedah yang terletak di Langgar. Namun, Tuan Hussain telah mewasiatkan kepada isterinya, Hajah Mariam supaya jenazah dikebumikan di tempat kelahirannya Titi Gajah.

Tuan Hussain meninggalkan bukan sekadar khazanah ilmu yang ditulisnya dalam 18 buah kitab sebagaimana yang telah disebutkan, tetapi juga meninggalkan tradisi institusi sekolah pondok yang kekal hingga kini.

Selain itu, Tuan Hussain juga meninggalkan kira-kira 150 relung tanah untuk anak cucunya dan ada antara tanah tersebut ada yang telah diwakafkan untuk tujuan dakwah Islamiah. Tradisi pondok Tuan Hussain yang memulakan sistem pengajian tersusun itu mendapat perhatian daripada sarjana tempatan dan luar negara.

Dalam kalangan para sarjana yang membuat kajian, mendapati bahawa Tuan Hussain lebih dikenali dengan nama Tuan Hussain Kedah. Nama gelaran yang selalu digunakan ialah Hussain Nasir ibni Muhamad Taib al-Mas’udi.

Tok Kenali - Tokoh Intelektual Islam Kelantan

Tok Kenali (Muhammad Yusof bin Ahmad) 1870-1933 merupakan seorang ulama sekaligus seorang intelektual Islam dari negeri Kelantan yang memandang penting tentang pendidikan Islam di negeri itu. Malah ilmu yang dimilikinya tersebar luas ke Nusantara. Tokoh ini dilahirkan di Kampung Kenali, Kota Bharu, Kelantan. Beliau menuntut di Mekah selama 22 tahun dan kembali ke tanahair pada tahun 1909.

Mempunyai semangat yang kental bagi menyebarkan Islam serta pendidikannya, Tok Kenali mendirikan pusat pengajian pondok Kendali pada tahun 1911. Institusi pondok ini kemudiannya menjadi pusat pengajian Islam yang dikenali hingga kini. Semasa hayatnya beliau menjadi guru agama di Masjid Besar Al-Muhammadi. Dilantik menjadi anggota Majlis Ulama Kelantan. Menjadi anggota Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu, Kelantan. Pernah menjawat jawatan Penolong Mufti dan menjadi Ketua Pelajaran Agama Islam.

Pada 11 Julai 1918 bersamaan 1 Syawal 1336, tokoh ini mengasaskan majalah Pengasuh yang diterbitkan oleh Majlis Agama Islam, Kelantan. Paling terhormat ialah majalah ini diterbitkan terus hingga kini, yang telah menjangkau usia 84 tahun. Tok Kenali menjadi Ketua Pengarang, majalah Pengasuh di samping terus menjadi “Tuan Guru” serta pemimpin Islam yang berwibawa dengan ilmu yang dimilikinya. Beliau terus menulis dalam majalah Pengasuh sehingga di saat akhir hayatnya.

Daya usaha yang dilaksanakan oleh Tok Kenali itu telah meninggalkan kepada kita khazanah ilmu yang tidak ternilai malah menjadi amalan kita semua pada hari ini. Pelajarnya ramai di merata tempat yang masing-masing menyumbang usaha murni gurunya. Malah dapat dirasakan nama tokoh ini harum semerbak di Nusantara walaupun beliau telah lama meninggalkan kita semua. Terdapat dua buah buku yang merakamkan ilmu yang dimiliki oleh Tok Kenali, dan buku-buku tersebut ialah Pusaka Tok Kenali dan sebuah lagi Cerpen Warisan Tok Kenali hasil usaha Abdullah Al-Qari bin Haji Salleh terbitan Al-Hidayah Publishers, Kuala Lumpur. Selain itu, terdapat juga berpuluh rencana serta kajian yang ditulis oleh penulis-penulis untuk menjadi bahan yang amat berguna untuk kita meneliti jasa bakti yang ditinggalkan oleh Tok Kenali.

Pada tahun-tahun 60-an misalnya, cerita-cerita tentang Tok Kenali begitu diminati bukan sahaja oleh kanak-kanak tetapi juga oleh segenap lapisan masyarakat. Di negeri Pahang misalnya, Tok Kenali memang dikenali serta diingati sebagai seorang yang “keramat” iaitu sangat mulia di sisi Allah S.W.T. Cerita-cerita tentang tokoh ini sering sahaja diceritakan oleh guru-guru yang mengajar al-Quran selepas murid-muridnya belajar mengaji.

Dalam mengkaji tokoh ini terdapat beberapa perkara yang sangat menarik untuk diketahui mengenainya. Perkara yang dimaksudkan ialah amalan-amalan Tok Kenali, tulisan-tulisannya tentang Islam, syair yang pernah dibacakannya, cerita-cerita daripada Tok Kenali, dan kata-kata pujangganya di samping kitab-kitab yang ditulisnya. Sebagai seorang Tuan Guru yang bijaksana, Tok Kenali menyelitkan cerita dalam pengajarannya. Cara pengajaran sedemikian, menjadikan pengajarannya menarik dan tidak menjemukan murid-muridnya. Dalam hal ini Abdullah Al-Qari menyenaraikan sebanyak 21 buah cerita yang pernah disampaikan oleh Tok Kenali semasa mengajar. Antara cerita-cerita itu diberikan tajuk “Ikut Bapamu Tetapi Takutkan Allah”, “Sebab Setitis Susu”, “Penebus Belanja Ayah”, “Orang Cerdik dan Orang Bodoh”, “Berfikir Sebelum Bernazar”, dan beberapa yang lain.

Walau bagaimanapun, Tok Kenali tidak menuliskan cerita-cerita ini. Namun, cerita-cerita tersebut masih diingati oleh murid-muridnya yang kebanyakannya telah menjadi guru agama sama ada yang masih hidup mahupun yang telah kembali ke Rahmatullah. Melihat sekali imbas ternyata cerita-cerita yang disampaikan oleh Tok Kenali ini merupakan cerita-cerita rakyat yang sangat tinggi nilai moralnya. Apatah lagi cerita-cerita yang sedemikian ini telah diselitkan semasa menyampaikan pengajaran agama, pastinya memberikan lebih makna dan kesan kepada pendengarnya.

Selain itu, tokoh ini telah menulis kitab di samping menulis dalam majalah Pengasuh di bawah pimpinannya selaku Ketua Pengarang dan majalah Al-Hidayah. Terdapat sembilan buah kitab yang dihasilkan oleh Tok Kenali dan ada antara kitab-kitab tersebut yang dikembangkan oleh murid-muridnya. Kitab-kitab yang dimaksudkan termasuk:

1. Khasiat Binatang
2. Kitab Mujarobat
3. Kitab Tasyif
4. Sangkalan Terhadap Kaifiah; Hadiah dan Doa Yassin.
5. Ilmu Risik Tok Kenali
6. Ilmu Penyecah Tok Kenali
7. Ilmu Makjun Tok Kenali
8. Ilmu Julab Tok Kenali
9. Tulisan-tulisan tangan Tok Kenali dalam pelbagai hal yang ada hubungan dengan pengajaran Islam.

Menurut sejarah, setelah Tok Kenali tamat pengajian di Makkah, beliau kembali ke tanah air untuk membina bangsanya dengan berlandaskan Islam. Beliau menjadi guru agama yang berwibawa di samping menjadi pemimpin kepada majalah Pengasuh yang merupakan media bagi menyampaikan pengajaran dan pemikiran kepada masyarakat. Untuk itu beliau mendirikan institusi pondok yang sehingga kini masih diwarisi.

Sahsiah peribadi yang tinggi dan terpuji yang dimiliki oleh Tok Kenali telah menjadikan beliau seorang ulama rujukan. Bahkan beliau boleh dianggap sebagai seorang intelektual Islam yang membina bangsanya tanpa ragu. Kewibawaan Tok Kenali bergelombang bukan sekadar di Kelantan tetapi juga dirasakan oleh seluruh masyarakat tanah air serta Nusantara amnya.

Tegasnya, Tok Kenali telah mengasaskan landas pendidikan yang cukup teguh di Kelantan di samping ulama-ulama lain di negeri itu. Gelombang ini juga dapat dirasakan dengan lahirnya ramai cerdik pandai Islam dari negeri itu. Malah terdapat institusi-institusi pondok yang masih kekal sehingga hari ini walaupun pendekatan dan perkembangannya sudah disesuaikan dengan aliran zaman. Inilah kesan kewibaan ilmu yang dimiliki oleh Tok Kenali yang sangat mulia di sisi Allah S.W.T.

Syeikh Tahir Jalaluddin - Ulama bawa pemodenan di Tanah Melayu

Syeikh Tahir Jalaluddin seorang tokoh pejuang pembaharuan yang jarang diperkatakan orang. Bahkan ramai genarasi kini tidak mengenalinya. Muhammad Tahir Jalaluddin al-Azhari al-Falaki dilahirkan di Kota Gedang, Sumatera (setengah pengkaji mengatakan Bukit Tinggi, Sumatera atau Kota Tua Ampek Angkek, Bukit Tinggi), pada bulan Ramadan 1286 Hijrah, sekitar 9 Disember 1869 Masehi.

Beliau pernah belajar di Makkah dan Mesir sewaktu remaja. Di Makkah, Syeikh Tahir belajar ilmu mantik dan kemudian memberi penekanan kepada nahu. Setelah itu beliau mendalami ilmu fiqh dan seterusnya sirah. Beliau dapat menguasai bahasa Arab serta boleh bercakap dalam bahasa Belanda dan Inggeris.

Semasa di Makkah beliau dilantik oleh Syeikh Ahmad Khatib sebagai guru pembantu dan mengajar jemaah haji dari Nusantara. Setelah 13 tahun di Makkah beliau tergerak hati hendak pulang ke tanah air. Tetapi niatnya tidak tercapai apabila mengenangkan kekejaman Belanda. Beliau singgah di Pulau Pinang sahaja.

Kemudian beliau melanjutkan pelajaran di Al-Azhar Mesir. Beliau tinggal di Mesir selama lebih kurang empat tahun untuk menamatkan ijazahnya. Di sana beliau diperkenalkan dengan pemikiran Muhammad Abduh dan turut berkawan dengan Muhammad Rashid Rida, pengikut Abduh yang menerbitkan al-Manar pada tahun 1898 di Mesir.

Beliau kembali ke Singapura dalam usia 20 tahun (1899), dan kali ini masih keberatan untuk pulang ke kampung halamannya. Di sinilah beliau bersama dua temannya memulakan menerbitkan majalah “al-Imam” (1906) iaitu Syed Syeikh al-Hadi dah Haji Abas Mohd Taha.

Sebelum itu beliau kembali Makkah untuk bertemu dengan sepupunya. Kemudian pulang ke tanah air menuju ke Pulau Pinang. Di sana dia bertemu jodoh dan berkahwin dengan gadis Kuala Kangsar. Akhirnya beliau menetap di Kuala Kangsar serta mendapat enam orang anak.

Dengan penerbitan Al-Imam, beliau cuba membuat membawa pembaharuan. Pemikiran Islam ala Muhamad Abduh menjadi wadah perjuangannya. Walau bagaimanapun beliau tidak disukai oleh golongan konservatif agama di Perak yang melihatnya sebagai berpandangan moden. Oleh sebab beliau berpindah ke Johor Bahru dan bertugas sebagai guru agama sehingga akhir 1918.

Kemudian beliau kembali ke Kuala Kangsar dan mengajar di Pulau Pinang iaitu di Madrasah al-Masyhur. Ketika di al-Masyhur dia ditawarkan sebagai mudir Madrasah Muhammad Thaib, Parti Jamil, Muar. Walaupun bagaimanapun setelah tugasnya selesai di al-Masyhur barulah tawaran tersebut diterima. Kehadiran Syeikh Tahir tersebut telah mengubah pendekatan pengajaran tradisi kepada kaedah moden yang dikaitkan dengan gerakan Kaum Muda, bahkan bahasa Inggeris dijadikan sebahagian daripada kurikulum madrasah.

Kemudian dalam tahun 1934, Syeikh Tahir dilantik sebagai editor bersama akhbar Saudara dan al-Ikhwan, walau bagaimanapun beliau hanya bertugas beberapa bulan sahaja. Hal demikian kerana beliau tidak bersetuju dengan dasar penerbitan tersebut.

Pada usia yang ada itu beliau masih mengambil peluang mempelajari ilmu falak, untuk menentukan waktu sembahyang dan penentuan bulan serta penetapan kalendar muslim. Ketokohannya menyebabkan Sultan Idris, Sultan Perak mengarahnya membetulkan arah kiblat masjid seluruh negeri. Bukan itu sahaja, baginda melantiknya menjadi Hakim Besar Syariah di Mahkamah Tinggi Taiping dan Ipoh.

Walaupun di Malaya ketika itu, pemikiran yang dibawa oleh Syeikh Tahir Jalaluddin mendapat tentangan ulama-ulama tradisional, tetapi berbeza sambutannya di Sumatera. Syeikh Tahir Jalaluddin mendapat sokongan daripada kawan-kawan dan murid-muridnya ketika beliau masih belajar di Mesir. Antara yang terkenal ialah Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Syeikh Abdullah Ahmad, dan Syeikh Abdul Karim Amrullah.

Syeikh Abdullah Ahmad yang menetap di Kota Padang, Sumatera Barat ialah seorang wartawan dan pengarang yang aktif. Beliau telah menerbitkan majalah al-Munir untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan selepas majalah al-Imam dihentikan penerbitannya pada tahun 1908, kerana masalah kewangan. Manakala Syeikh Abdul Karim Amrullah yang mendirikan madrasah di Padang Panjang mengeluarkan pandangan-pandangan tentang kepentingan ijtihad serta menyebarkan pembaharuan pemikiran pemodenan dalam masyarakat Islam.

Sebaliknya ulama-ulama yang menamakan diri mereka Kaum Tua, menerbitkan majalah al-Mizan, untuk mengimbangi pemikiran dalam al-Munir. Mereka berusaha keras untuk melenyapkan pengaruh Kaum Muda di Sumatera. Walau bagaimanapun usaha mereka tidak berhasil kerana kekuatan pemikiran Kaum Muda yang lebih berpengaruh. Manakala Kaum Tua di Malaya, didapati lebih kuat kerana mereka diwakili oleh mufti dan kadhi yang mempunyai kuasa penuh terhadap pentadbiran agama negeri serta mempunyai hubungan baik dengan pemerintah atau majlis agama negeri. Merekalah yang lebih berhak untuk mengeluarkan fatwa terhadap perkembangan sesuatu pemikiran yang bertentangan dengan pegangan tradisional.

Wadah perjuangan pembaharuan mereka amat jelas, iaitu orang Islam perlu kembali berpegang kepada al-Quran dan hadith tetapi dalam masa yang sama tidak menolak pemodenan, sains dan teknologi. Mereka menerima falsafah barat yang berlandaskan rasionalisme sebagai alat untuk memperkukuhkan kebenaran agama Islam. Tetapi idea radikal sebegini telah disalahmengertikan oleh golongan tua lalu melabelkan mereka sebagai Kaum Muda.

Syeikh Tahir telah mengabadikan dirinya untuk menyebarkan cita-cita islah di kalangan ummah Islam, sama ada di Tanah Melayu atau seluruh Nusantara. Kemunduran masyarakat Islam di Nusantara meyakinkan beliau bahawa jalan penyelesaian untuk mengatasi masalah itu ialah dengan cara mengemukakan pandangan Islah, mengungkai segala kekeliruan.

Idea ini pernah ditegaskan dalam rencananya berjudul “Surat Terbuka Kepada Segala Ulama”, disiarkan oleh al-Imam, pada Bil. 1, Jil. 1, 23 Julai 1906. Beliau menganggap bahawa ummah Islam di rantau ini memerlukan pimpinan sebagaimana saudara Islam di Asia Barat.

Beliau pernah menulis bagaimana sikap orang Melayu yang terlalu terikut-ikut dengan adat orang Arab, sering memandang rendah terhadap sesetengah pekerjaan, dan percaya kepada hari-hari tertentu dalam bulan safar yang boleh mendatangkan bala. Selain itu beliau juga menulis berkaitan dengan sikap kolot orang Melayu ialah “Risalah Penebas Bidaah-bidaah di Kepala Batas”, diterbitkan di Pulau Pinang oleh Persama Press, 1953.

Manakala rencananya mengenai “Qada’ dan Qadar” yang ditulis dalam al-Imam, Bil. 3, Jil. 1, 19 September 1906; menerangkan bahawa kejayaan manusia dalam dunia sebenarnya berpunca daripada usaha dan ikhtiarnya dan tidak ada kaitan sekali dengan faktor qada’ dan qadar. Malah ditegaskan seseorang Islam itu hendaklah sentiasa menjalankan kegiatan sebagaimana yang dikehendaki oleh Tuhan. Manusia sebenarnya bertanggungjawab kepada segala perbuatannya dan juga kepada segala perkara yang memberi kepentingan kepada masyarakat. Jika kegagalan yang dihadapi maka kegagalan itu seharusnya dianggap sebagai kegagalan dirinya sendiri. Tuhan tidak mengubah nasib manusia tetapi manusia sendiri yang mengubahnya.

Qada’ dan qadar sepatutnya diertikan bahawa segala perkara yang berlaku dalam dunia ini sebenarnya berlaku atas faktor sebab dan akibat. Tuhan dalam proses ini cuma menjadi tenaga penggeraknya sahaja. Keputusan manusia sebenarnya penting dalam hal ini. Sebagai individu, manusia bebas melakukan sesuatu dan Tuhan memberi mereka pemikiran serta Rasul untuk memimpin dan memberi petunjuk, bagaimana sesuatu perkara itu patut dilaksanakan.

Syeikh Tahir membawa pembaharuan dalam semua hal walaupun dalam pengajaran bahasa Arab. Beliau yang menjadi guru bahasa Arab kepada Za’aba sekitar 1916-1919 mendapat pujian dari Za’aba sendiri. Katanya, cara pengajarannya yang dianggap moden begitu berkesan bahkan mudah difahami oleh pelajar.

Sunday, August 14, 2005

Syeikh Al-Marbawi



Syeikh Al-Marbawi Terkenal kerana kamus Melayu-Arab

SYEIKH Muhammad Idris Bin Abd al-Rauf al-Marbawi (1893-1989), lebih tersohor sebagai tokoh persuratan Arab-Melayu di kalangan masyarakat Malaysia dan Nusantara. Qamus al-Marbawi yang telah dihasilkan pada tahun 1927 telah memasyhurkan beliau sehingga ke hari ini. Biarpun usia kamus tersebut sudah hampir 80 tahun, khazanah ilmu ini terus digunakan oleh pengkaji, pelajar, dan masyarakat di Asia Tenggara. Beliau telah dilahirkan pada tahun 1893 dan secara tepatnya pada tahun 28 Zulkaedah 1313 Hijrah di Makkah. Setelah lama berada di Makkah, keluarganya mengambil keputusan untuk kembali ke Malaysia iaitu kira-kira pada tahun 1913.

Sejak dari kecil lagi, al-Marbawi telah menunjukkan kemampuan akademiknya yang memberangsangkan. Ketika berusia sepuluh tahun, beliau telah menamatkan pengajian hafalan al-Quran. Sekembalinya ke tanah air beliau mendapat pendidikan di Sekolah Melayu Lubuk Merbau, Perak.

Kecenderungan ilmiah yang tertambat kukuh dalam jiwanya telah mendorong beliau menuntut ilmu di pondok-pondok yang merupakan institusi pendidikan Islam yang terpenting di alam Melayu ketika itu. Antaranya Pondok Syeikh Wan Muhammad di Bukit Chandan, Kuala Kangsar, Pondok Tuan Hussain Al-Masudi, di Kedah, Pondok Syeikh Ahmad Fatani di Bukit Mertajam dan Pondok Tok Kenali di Kelantan.

Melihat kepada kemampuan akademik dan minatnya kepada ilmu Islam, ayahanda beliau mengesyorkannya agar menyambung pengajian ke timur tengah sama ada ke Mesir ataupun kembali semula ke Mekah. Bagaimanapun syor ayahandanya itu tidak menjadi prioriti al-Marbawi ketika itu kerana beliau ingin berumah tangga dan bekerja sebagai guru. Beliau meneruskan hasratnya untuk berkahwin dengan gadis pilihannya dan pada waktu yang sama mematuhi kehendak bapa supaya mendalami ilmu Islam di Mesir.

Beliau sempat bertugas sebagai guru agama di Perak sebelum menyambung pengajiannya ke Universiti al-Azhar. Di sana beliau menggondol kejayaan yang membanggakan keluarganya dan masyarakat, iaitu memperoleh ijazah tertinggi dari universiti tersebut. Sebenarnya al-Marbawi merupakan anak kelahiran Perak yang pertama meneroka pengajian Islam di Mesir.

Sebagai angkatan pertama yang baru mengenal suasana di sana, al-Marbawi mendapati masalah komunikasi dengan bahasa Arab menjadi masalah utama dan paling besar di kalangan anak Melayu. Bermula dari sinilah timbul idea untuk menyusun sebuah kamus Arab-Melayu dan usaha tersebut telah dimulakan secara kolektif bersama lima orang lagi rakannya. Tetapi usaha tersebut terpaksa disiapkan bersendirian lantaran penarikan diri rakan-rakannya. Walaupun bersendirian, beliau nekad untuk menyudahkan kamus tersebut.

Keringat, keazaman, dan kesabaran al-Marbawi terbalas juga apabila kamus tersebut berjaya disudahi pada tahun 1927. Kamus itu diulang cetak puluhan kali kerana sambutan yang amat menggalakkan di kalangan pelajar Asia Tenggara. Kejayaan menyusun kamus ini telah menjadi langkah pertama kepada al-Marbawi untuk mengorak langkah seterusnya dalam penghasilan karya Islam yang lain.

Amat perlu dinyatakan bahawa beliau sebenarnya tidak membataskan diri dan kesarjanaannya hanya dalam bidang bahasa semata-mata bahkan, beliau mendalami pelbagai ilmu Islam. Beliau juga menghasilkan puluhan karya dalam bidang tersebut. Ada antara karya beliau diterbitkan dan terdapat juga yang masih dalam bentuk manuskrip.

Karya-karya beliau yang dihasilkan - melebihi 20 buah karya - dalam pelbagai disiplin ilmu ini membuktikan ketajaman pemikiran, kedalaman ufuk ijtihad, dan kewibawaan beliau dalam pengajian ilmu-ilmu Islam.

Walau bagaimanapun, kemasyhurannya lebih ditonjolkan dalam dunia persuratan Arab-Melayu berbanding kepakaran lain. Apatah lagi, beliau pernah dianugerahi ijazah Kehormatan Doktor Persuratan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia pada tahun 1980. Pada enam tahun berikutnya beliau dinobatkan sebagai tokoh Maal Hijrah Malaysia yang pertama iaitu pada tahun 1408 Hijrah. Kedua-dua anugerah yang diterima ini sebagai mengenang jasa yang dituang oleh beliau dalam bidang persuratan Arab-Melayu dan ilmu Islam.

Selain kamus Arab-Melayu, al-Marbawi telah menghasilkan karya yang penting dalam bidang hadith. Antara tulisan beliau dalam bidang tersebut ialah Bahr al-Madhi yang merupakan ringkasan dan ulasan kepada sunan al-Tirmizi. Selain itu kitab terjemahan sahih al-Bukhari, kupasan kitab Bulugh al-Maram, dan karya berjudul Idaman Guru merupakan tulisan yang mengupas mengenai hadith-hadith sahih al-Bukhari dan Muslim.

Kitab Bahr al-Madhi merupakan salah satu sumbangan terpenting beliau dalam pengajian Hadith di Malaysia. Bahr al-Madhi ialah kitab hadith bertulisan jawi terbesar dan antara yang terawal pernah wujud di alam Melayu. Karya ini amat padat dan mendalam, bahkan dikatakan telah menampung kekosongan karya asli dalam bidang ilmu hadith di rantau ini. Karya ini memuatkan ulasan dan huraian hadith dalam bentuk Fikah, aqidah, tasawuf, dan muamalat.

Kelainan dan keistimewaan kitab ini amat jelas, apatah lagi ulasan al-Marbawi mengikut acuan dan warna masyarakat Malaysia. Karya ini memberi nafas baru kepada pemahaman hadith-fiqh secara mendalam di samping mendidik masyarakat Malaysia tentang perhubungan intim kedua-duanya. Hadith ialah asas kepada bidang ilmu Islam yang lain.

Al-Marbawi juga turut menterjemahkan kitab Bulugh al-Maram iaitu sebuah karya hadith yang disusun berdasarkan bidang Fiqh oleh seorang tokoh Hadith ternama iaitu Ibn Hajar al-Asqalany ke dalam bahasa Melayu. Dua karya dalam bidang hadith berbahasa Melayu ini ialah antara karya yang penting, sulung, dan terbesar pernah dihasilkan oleh seorang ulama’ Nusantara.

Dalam bidang Tafsir al-Quran pula, beliau telah menulis tafsir Surah Yasin, Tafsir al-Quran al-Marbawi, Tafsir al-Quran Nur al-Yakin, Terjemahan Tafsir Fath al-Qadir, Tafsir Juz Amma, Tafsir Al-Fatihah, dan sebuah karya berjudul Quran Bergantung Makna.

Selain dua bidang tersebut al-Marbawi juga telah menghasilkan tulisannya dalam bidang Fiqh, aqidah, dan Falsafah. Antara tulisan beliau ialah kitab Asas Islam, Kitab Nizam al-Hayah, Kitab Pati Hukum-hukum Ibadah, Kitab Usul Islam Pada Membicarakan Mengambil Air Sembahyang, sebuah ensiklopedia yang dinamakan sebagai Kamus Segala Ilmu, Karya berjudul Punca Agama, Perbendaharaan Ilmu, dan banyak lagi.

Terdapat banyak lagi tulisan beliau dalam bentuk manuskrip yang belum sampai kepada kita. Keperibadian, kewibawaan, dan kesarjanaan al-Marbawi telah menjadikan beliau salah seorang tokoh Islam yang ulung di Rantau ini. Walaupun sebahagian besar usia dan masanya dihabiskan di luar negara tetapi jasa beliau kepada anak bangsa tidak ternilai besarnya.

Sepanjang hayatnya, al-Marbawi membuktikan betapa perlunya seseorang anak bangsa memberikan sumbangannya kepada bangsa, agama, dan negaranya. Beliau telah mengabdikan dirinya sebagai seorang penulis Ilmu Islam yang tidak pernah mengenal erti kerehatan.

Pada tanggal 13 Oktober 1989 bersamaan 13 Rabiul Awal 1409 Hijrah, al-Marbawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di Hospital Besar Ipoh pada jam 8.40 pagi. Pemergiannya pada usia 96 tahun itu semestinya di samping anak cucu tercinta. Jenazahnya telah disemadikan di pusara Kampung Lubuk Merbau, kampung keluarganya.

Thursday, August 11, 2005

SULTAN MUHAMMAD AL-FATEH

SULTAN MUHAMMAD AL-FATEH - Bukti Islam tidak mengguna kekerasan

Pagi 22 April 1452 bersamaan dengan 852 Hijrah, penduduk Constantinople dikejutkan dengan laungan takbir, paluan gendang, dan nasyid. Demikian gema kemenangan tentera Sultan Muhammad al-Fateh. Sekali gus gema itu seolah-olah satu serangan psikologi kepada penduduk kota berkenaan. Penduduk Constantinople seperti tidak percaya kekuatan tentara Muhammad al-Fateh. Tidak dapat dibayangkan, bagaimana tembok setebal 4 lapis, setinggi 25 kaki, dan sejauh 160 kaki itu berjaya ditembusi oleh tentera Muhammad al-Fateh?

Suatu yang menakjubkan, tentera Sultan Muhammad al-Fateh telah membawa kapal-kapalnya masuk ke perairan Tanjung Emas merentasi bukit melalui jalan darat! Taktik peperangan seperti ini tidak pernah dilakukan oleh mana-mana tentera sebelum ini. Tentera Uthmaniah dengan semangat dan kekuatan yang luar biasa telah berjaya menarik 70 kapal dari Selat Bosphorus ke Tanjung Emas. Tiada siapa yang dapat membayangkan bagaimana semua itu boleh berlaku hanya pada satu malam. Sedangkan mereka terpaksa melalui bukit yang begitu tinggi dengan jarak yang melebihi tiga batu. Sebahagian mereka menyangka bahawa tentera al-Fateh mendapat bantuan jin dan syaitan!

Siapakah sebenarnya Sultan Muhammad al-Fateh ini? Beliau ialah sultan ketujuh Khilafah Islamiah Othmaniyah. Beliaulah pembuka kota Constantinople atau yang dikenali hari ini sebagai Istanbul. Ketika itu beliau baru menjangkau usia 26 tahun. Peperangan yang maha hebat itu memakan masa selama 54 hari. Keadaan inilah yang pernah dibayangkan oleh baginda s.a.w. ketika dalam perang Khandak. Antara lain baginda bersabda yang bermaksud: “Sesungguhnya Constantinople itu pasti akan dibuka. Sebaik-baik pemimpin ialah ketuanya dan sebaik-baik tentera ialah tenteranya.”

Sultan Muhammad al-Fateh ialah salah seorang daripada tokoh pemimpin kerajaan Islam yang masyhur tercatat dalam sejarah dunia. Beliau bukan sahaja hebat sebagai pemimpin malah nama beliau sebagai panglima perang, dikenali di benua Eropah. Mendengar namanya sahaja sudah mengundang gementar di hati musuh-musuhnya walaupun ketika itu beliau sudah 10 tahun meninggal dunia. Beliaulah pemerintah Islam pertama mendapat gelaran yang diberikan oleh Barat sebagai “Grand Seigneur” yang bermaksud pemimpin agung.

Sultan Muhammad al-Fateh dilahirkan pada 26 Rejab 833 hijrah bersamaan 20 April 1429 Masihi dan dibesarkan di Adirnah. Ayahnya, Sultan Murad II merupakan salah seorang pemimpin yang hebat dan tokoh pemerintah kerajaan Othmaniyah yang masyhur. Ibunya dikatakan seorang puteri raja berketurunan Nasrani.

Ketika ayahnya menjadi sultan, beliau dilantik menjadi gabenor di Magnisa. Setelah kematian ayahnya, Sultan Muhammad al-Fateh dilantik menjadi pemimpin kerajaan Uthmaniah iaitu pada bulan Februari 1451. Dengan pelantikan ini bermakna beliau merupakan seorang pemimpin termuda yang pernah dilantik. Walaupun baru berusia 22 tahun, beliau berjaya membawa kecemerlangan dalam pemerintahannya.

Kekuatan Sultan Muhammad al-Fateh banyak terletak pada ketinggian peribadinya. Hal ini demikian kerana ketika usianya kecil lagi sudah diajar menunggang kuda, memanah, dan menggunakan pedang. Namun didikan rohani mendapat perhatian serius dan dorongan penuh daripada ayahnya. Beliau telah ditarbiah secara intensif oleh para ulama terulung antaranya ialah al-Syeikh Muhammad bin Ismail al-Kurani. Beliau mengajar Sultan Muhammad al-Fateh ilmu-ilmu asas iaitu al-Quran, al-Hadith, fiqh, linguistik (bahasa Arab, Parsi, dan Turki), dan juga ilmu kemahiran yang lain. Melalui tarbiah yang teliti dan penuh terhormat, tidak hairanlah lahir peribadi yang unggul seperti Sultan Muhammad al-Fateh.

Sultan Muhammad al-Fateh banyak meneliti dan meninjau usaha ayahnya menawan Constantinople. Beliau sering mengikuti ayahnya ke medan peperangan. Sebab itu ketika menaiki takhta pada tahun 855H/1451M, beliau telah mula berfikir dan menyusun strategi untuk menawan kota berkenaan. Dalam hal ini, beliau banyak mengkaji sejarah Islam zaman Muawiyah bin Abi Sufian r.a. Waktu itu telah ada usaha-usaha yang dibuat ke arah menawan Constantinople. Usaha pertama yang pernah disusun adalah pada tahun 44 Hijrah, walau bagaimanapun usaha berkenaan gagal. Abu Ayyub al-Ansari yang merupakan salah seorang sahabat nabi, syahid di medan perjuangan itu.

Setelah kemenangan tentera Sultan Muhammad al-Fateh menawan Constantinople, beliau telah memerintahkan tenteranya mencari kawasan perkuburan Abu Ayyub al-Ansari. Padanya, Abu Ayyub perlu disempurnakan jenazahnya sebagai seorang sahabat nabi. Setelah ditemui, Sultan Muhammad al-Fateh meminta supaya kuburnya digali dan dipindahkan ke tempat yang lebih baik.

Setelah digali, akhirnya mereka menemui bahagian kakinya terlebih dahulu. Di sini Sultan Muhammad al-Fateh memerintahkan seluruh rakyatnya mencium kaki Abu Ayyub al-Ansari yang fizikalnya masih segar itu. Walau bagaimanapun, beliau gagal menciumnya kerana tatkala hendak mencium tiba-tiba sahaja kaki itu tertarik semula ke dalam tanah. Kejadian itu berlaku berturut-turut sebanyak tiga kali. Pada malam itu, Sultan Muhammad al-Fateh bermimpi bertemu dengan Abu Ayyub al-Ansari. Abu Ayyub al-Ansari menjelaskan bahawa kejadian itu berlaku disebabkan rasa malu dan hormat kepada Sultan Muhammad al-Fateh. Padanya, tidak layak orang yang telah berjaya menawan Kota Constantinople mencium kakinya.

Selain itu, beliau banyak mengkaji dan mempelajari pengalaman Rasulullah s.a.w. dalam peperangan. Malah semangat kepahlawanan dan pengorbanan panglima perang Islam dahulu, banyak mempengaruhi jiwanya. Namun, Sultan Muhammad al-Fateh mewarisi sifat keberanian, kegagahan, kesabaran, dan semangat tidak putus asa ayahnya. Bahkan beliau juga mewarisi pengetahuan yang luas serta berkemahiran dalam menyusun strategi peperangan.

Di sini ternafilah tohmahan golongan orientalis Barat dan musuh-musuh Islam bahawa beliau menegakkan Islam dengan kekerasan. Walhal mata pedang digunakan sebagai jalan terakhir. Tujuan orientalis itu hanyalah untuk mengelirukan masyarakat terhadap Islam. Dr. Abd. Salam bin Abd Aziz dalam bukunya yang bertajuk Sultan Muhammad al-Fateh Pembuka Constantinople Menundukkan Rom, menjelaskan bahawa Sultan Muhammad al-Fateh memiliki keyakinan diri yang kuat. Selain itu, dia juga mempunyai pandangan jauh serta kepintaran yang tinggi. Malah Sultan Muhammad al-Fateh mampu menghadapi tekanan, keperitan, dan bebanan yang dihadapinya. Beliau seorang pemuda yang warak. Malah, jarang sekali beliau menunaikan solat, melainkan di masjid.

Sultan Muhammad al-Fateh digambarkan sebagai pemimpin berjiwa rakyat. Beliau lebih mengutamakan urusan negara dan masyarakat mengatasi kepentingan diri. Pada masa yang sama, beliau sering mendampingi ulama-ulama dan ilmuwan. Kedudukannya sebagai Sultan tidak menghalang minatnya untuk terus menimba ilmu dan pengalaman. Kehidupan beliau sebagai pemimpin digambarkan cukup sederhana. Malah beliau sangat memusuhi pembaziran. Oleh sebab itu, hidangan makanan dan cara berpakaiannya tidak terikat dengan peraturan-peraturan istana.

Selain kejayaan dalam bidang ketenteraan dan penaklukan wilayah, Sultan Muhammad al-Fateh juga berjasa dalam mengembangkan dakwah Islam ke benua Eropah. Melalui akhlak dan keperibadian beliau, ramai yang tertarik dan memeluk Islam. Hal ini berlaku pada hari kemenangan tenteranya, iaitu apabila beliau telah mengampunkan penduduk Kristian Kota Constantinople. Dengan sikap toleransi yang ditunjukkan itu, menyebabkan ada dalam kalangan paderi terus menyatakan keislaman mereka.

Sepanjang pemerintahannya, beliau tidak lupa membangunkan aspek fizikal dan rohani rakyatnya. Beliau telah membina Masjid al-Fath yang terkenal dengan gelaran Blue Mosque. Selain itu, beliau juga telah memulihkan semula peranan Masjid Aya Sofia sebagai mercu dan syiar Islam di Turki. Sultan Muhammad al-Fath meninggal dunia pada bulan Mei 1481 dan jenazahnya dikebumikan di Kota Constantinople.

Sumayyah - Syahid Islam yang pertama

Kafilah dari Yaman itu sudah seharian berjalan merentasi padang pasir untuk ke Mekah. Banyak barang dagangan yang dibawa untuk urusan niaga di Kaabah yang terkenal. Tiga beradik dari Bani Qahtan, al-Haris, Malik dan Yasir turut berada dalam kafilah tersebut. Mereka tiada niat untuk berdagang tetapi mahu mencari seorang saudara yang hilang. Jauh di sudut hati mereka berharap untuk bertemu saudara yang hilang itu di Mekah kerana kota itu terkenal sebagai tempat pertemuan semua kaum Arab.

Kedatangan kafilah dagang itu disambut meriah oleh penduduk Quraisy Mekah. Tiga beradik itu pun berpisah dari kafilah. Mereka meneroka seluruh kota Mekah untuk mencari saudara yang hilang. Yasir yang tajam pengamatan terpesona dengan kemakmuran Mekah. Saudara yang dicari tidak ditemui, sebaliknya dia mengambil keputusan untuk menetap di sana. Berpisahlah anak muda itu daripada dua orang saudaranya apabila mereka mengambil keputusan untuk balik semula ke Yaman.

Yasir sebatang kara di Mekah. Corak masyarakat Mekah yang mengamalkan gaya hidup kesukuan begitu mencabar bagi anak dagang sepertinya. Di Tanah Arab ketika itu, hanya yang kuat mendapat tempat dan yang miskin akan dihambai. Yasir terpaksa meminta perlindungan daripada suku Bani Makhzum dan hidup di bawah naungan orang kaya, Abu Huzaifah al-Mughirah.

Lama hidup bertuankan Abu Huzaifah, Yasir dikahwinkan dengan seorang hamba perempuan milik tuannya itu, bernama Sumayyah Khayyat. Pasangan ini hidup bahagia dan beroleh dua cahaya mata lelaki, Ammar dan Ubaidillah. Masa berlalu. Usia anak-anak menginjak dewasa. Pasangan Yasir dan Sumayyah juga semakin tua.

Ketika inilah Islam menampakkan sinar di kota Mekah. Agama yang dibawa oleh al-Amin Muhammad s.a.w ini menarik perhatian seluruh isi kota. Bagi masyarakat bangsawan Quraisy yang menyembah Lata dan Uzza (nama berhala sembahan), kemunculan agama baru adalah pengkhianatan kepada tradisi nenek moyang. Namun bagi masyarakat kelas bawahan, Islam adalah dimensi baru bagi mereka kerana agama itu antaranya, menyeru kepada mengesakan Yang Satu dan menolak perbezaan kelas.

Ammar antara orang yang tertarik kepada ajaran itu. Dia mengumpul banyak pemikiran baru mengenai agama yang menjadi bualan ramai di kota. Perasaan ingin tahu menarik pemuda itu ke rumah al-Arqam, yang menjadi markas Rasulullah menyampaikan dakwah. Dia mengetepikan rasa bimbang jika langkahnya dijejaki oleh orang Quraisy. Ajaran Rasulullah benar-benar berkesan dan sebaik-baik melangkah keluar dari rumah al-Arqam, Ammar sudah menjadi seorang muslim!

Pemuda itu kembali ke rumah dengan dada lapang. Dia menceritakan kepada ibu bapanya mengenai pengalaman hebatnya itu. Dia berdakwah pula kepada mereka mengenai erti Islam dan mengajak orang tua itu mengikut jejak langkahnya. Akhirnya Yasir dan Sumayyah bersetuju dan kedua-duanya memeluk Islam.

Bermulalah lembaran baru dalam hidup Yasir dan Sumayyah. Sumayyah adalah orang ketujuh yang memeluk Islam. Berada dalam naungan Islam, dia merasakan kelazatan iman dan kekuatan pegangan. Mereka sekeluarga sedar risiko jika hal itu diketahui oleh suku Bani Makhzum. Tetapi mereka tidak takut, sebaliknya terang-terangan mengumumkan pengislaman mereka.

Suku Bani Makhzum menerima berita itu dengan perasaan terperanjat dan marah. Sumayyah sekeluarga ditangkap dan diseksa. Mereka dijemur di padang pasir yang panas menyengat. Sumayyah diletakkan batu besar di dadanya. Dia dipaksa supaya keluar dari Islam dengan segera. Tetapi wanita itu tidak berganjak daripada keputusannya. Sebaliknya bibirnya teguh melafazkan kata-kata, “ahad, ahad, ahad...” (bermaksud Allah Yang Satu).

Rasulullah sendiri pernah melintasi tempat Sumayyah sekeluarga diseksa. Baginda begitu bersimpati. Ramai juga kalangan orang kota yang bersimpati tetapi mereka tidak berani berbuat apa-apa kerana sudah diancam oleh suku Bani Makhzum. Tetapi Rasulullah selalu meniupkan semangat Sumayyah sekeluarga dengan berkata, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir. Sesungguhnya janji kamu nanti adalah di syurga.”

Sumayyah mendengar seruan Rasulullah. Imannya semakin kuat dan yakin. Kewibawaannya terserlah. Dengan yakin dia membalas, “Aku bersaksi bahawa engkau adalah pesuruh Allah dan aku bersaksi bahawa janjimu benar.”

Namun Sumayyah hanya seorang wanita. Dalam usianya yang semakin lanjut, kekuatan tubuhnya tidak sekuat mana. Bagaimanapun ketabahannya untuk terus bertahan di tengah panas itu mengagumkan ramai orang. Sekali gus hal ini mencabar kesombongan suku Bani Makhzum. Menjadikan mereka lebih sakit hati dan benci.

Abu Jahal datang menunjukkan wajah angkuhnya di hadapan Sumayyah. Wanita tua itu dipujuk supaya menyerah kalah. Tetapi Sumayyah walaupun dalam tubuh yang tidak bermaya enggan berganjak daripada keputusannya. “Ahad, ahad, ahad...” kalimah itu terus meniti di bibir Sumayyah.

Ungkapan itu melukakan ego Abu Jahal dan menaikkan keberangannya. Dia hilang sabar lalu mencabut pedang bengkoknya dan menikam bahagian pangkal hati Sumayyah. Di situ juga Sumayyah terkorban. Dia menjadi orang pertama yang mati syahid pada zaman sebelum hijrah ketika agama Islam belum mendapat tempat di kalangan masyarakat Mekah. Selain itu, suaminya Yasir juga terkorban.

Penderitaan Sumayyah dikenang seluruh masyarakat Islam. Dia dianggap simbol pengorbanan orang Islam yang tidak gentar kepada ugutan dan kematian kerana menegakkan Islam. Hari demi hari, Islam semakin diterima ramai. Penghijrahan orang Islam ke Yathrib (Madinah) membuka era baru dalam dakwah Rasulullah. Umat Islam semakin kuat dan dalam Perang Badar, pembunuh Sumayyah iaitu Abu Jahal menemui maut. Rasulullah menemui Ammar dan berkata kepada anak muda itu, “Allah telah membunuh si pembunuh ibumu...” Ammar sebak tetapi dia tahu ibunya pasti selamat di syurga.

************************************

Tajuk: Sumayyah

Album: Jalan Bahagia
Kumpulan: Hijjaz

Dalam diri selembut sutra
Kau memiliki iman yang teguh
Kau nyalakan obor agama diri-mu bak lentra
dibelengu jahiliah kau tempuh dengan berani
Walau pun jasad-mu milik tuan Tetapi hati-mu milik Tuhan
Padang pasir menjadi saksi ketabahan keluarga itu
Tika suami dan anak dibaring mengadap mentari
Disuruh memilih iman atau kekufuran
Samar jahiliah atau sinaran akidah
Sabarlah keluarga Yasir
Bagi-mu syurga disana
Dan kau pun tega memilih syurga
Walau terpaksa mengorban nyawa
Lalu tombak yang tajam menikam Jasad-mu yang tiada bermaya
Namun iman didada-mu sedikit tidak berubah
Darah-Mu menjadi sumbu pelita iman
Sumaiyah kaulah lambang wanita solehah
Tangan yang disangka lembut menghayun buaian
Mengoncang dunia mencipta sejarah
Sumaiyah kau dibunuh didunia sementara
Untuk hidup disyurga yang selama-lamanya
Kaulah wanita terbaik Sebaik manusia
Nama-mu tetap menjadi sejarah